Rabu, 28 Mei 2025

Tak Berkutik di Hadapan Para Pendekar Klimis

Foto: https://gatsby.co.id/
Saya menemuinya di tempat nongkrong tak jauh dari pertigaan Matraman. Ia berjaket hitam, rambut rapi dengan potongan lancip menunjuk langit. Pipi dan dagu dibiarkan membrewok, dan makin subur badannya. 

Mengenai yang terakhir, dalam pikiran saya cuma bertanya, berapa keranjang jengkol per hari bininya harus masak? 

Nah, ini dia, Ahmad Makki.

“Bung, mari kita ngobrolin pengetahuan baru,” katanya.

“Pengetahuan apa?”

“Santai, beberapa lagi para pendekar akan datang.”

“Pengetahuan apa, Bung?” saya kembali bertanya. 

Untuk sementara waktu, saya tak peduli pendekar-pendekaran karena sebelumnya juga tidak peduli. Cuma baca beberapa Wiro Sableng saja dan Khu Lung. Yang bikin penasaran sekarang adalah, ia mau cerita tentang apa dan pengetahuan baru apa setelah hampir tiga tahun tidak ketemu.

“Santai saja, tapi kira-kira dengan pengetahuan baru ini: mari kita ciptakan santri klimis sepulau Jawa.”

Hampir-hampir jantung saya meledak mendengarnya. Usus dua belas jari saya berantakan seketika. Sementara pantat hampir terlempar dari kursi kalau tidak kuat berpegangan sama tiang. 

Saya membatin, orang ini habis makan apa dan disuntik di dokter mana? Apa hubungannya dia dengan orang Kemenag bagian yang mengurusi pesantren. Dari gerak-gerikanya, saya tak yakin dia bagian dari intansi itu.

Selintas saya membayangkan jumlah pesantren dari Anyer ke Panarukan. Ada berapa juta anak-anak di bawah komando kiai, ajengan, dan mualim itu? Mereka akan diklimiskan dengan cara apa? Dengan cara halus apa represif? Berapa propagandis dan penyuluh harus disiapkan? Berapa yang protes, menolak, dan menerima? 

Bisa jadi ini akan menyebabkan instabilitas atau mungkin huru-hara. Apalagi jika melibatkan santri-santri di dayah, meunasah di Aceh, serta madrasah atau majelis ta’lim di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Maluku, dan Papua.

Tapi saya harus bersabar dengan orang satu ini. Kalau salah urus, bisa menyesal ujungnya. Seperti kabar yang diterima dari mulut yang dipercaya, jika tak hati-hati, bisa kena batunya. Kawan satu ini sering membuat orang menyesali tindakan dan kata-katanya sendiri. Sering membuat kawan bicara meringis karena tak membaca buku anu, belum nonton film itu, dan mendengar lagu ini. 

Tak berapa lama memang datang orang-orang yang tak saya kenali sebelumnya. Dan mereka seragam berambut klimis dengan gaya sendiri-sendiri. Merekalah mungkin pendekar-pendekar itu. Pendekar-pendekar klimis. Rambut rapi serapi-rapinya. Licin mengilap nyaris dodol yang dilumuri minyak kelapa. Kutu lajang pun bisa kepeleset jika memanjatinya, apalagi yang bunting tua.

Sekarang lima pendekar duduk di kursi yang ditata melingkari meja. Tanpa dikomandoi siapa pun, mereka memamerkan azimat dan senjata masing-masing di atas meja. Saling komentar, berdebat, memuji, dan mencela.

Bangsat! Saya benar-benar jadi pendekar yang digunduli lahir batin kalau begini caranya. Tak kenal sama sekali apa yang mereka obrolkan. Tiap sepuluh kata yang keluar, cuma kata sambung dan sisir yang saya pahami.

Makki memeriksa salah satu azimat berbentuk bundar. Ia menimang, mencuilnya dengan telunjuk, menciumnya. Kemudian menyebut komposisinya, beratnya, harganya, siapa pembuatnya, siapa saja di Indonesia pemiliknya, di kota mana saja. Terus bagaimana efeknya ke rambut, ke kulit kepala dan bagaimana sensasinya.

Ia mengatakannya seperti orang dewasa menyebut nama-nama hari yang berlaku. Ia kemudian menghakimi benda itu sebagaimana Pekhiau- sing yang menyusun urutan kesaktian senjata-senjata pendekar ternama.

Sekali waktu Makki ngomong begini. 

“Tapi memang minyak kemiri itu dahsyat. Nongkrong sambil merokok dengan tetangga. Ia tanya, ‘lu pakai apaan sih?’ ‘kenapa emang? Minyak kemiri.’ ‘kayak oli bekas katanya.’ ‘brengsek’.

Para pendekar itu terguncang-guncang pundaknya. Tapi rambutnya tetap anteng, tak ada yang berubah serambut pun. Sulur-sulur itu jadi begitu patuh banget.

Makin lama, obrolan mereka kian tak masuk akal. Saya seperti orang yang sedang tidur kemudian diculik orang, lalu diputar-putar 700 kali, dan tahu-tahu dilempar di gurun Sahara di malam hari. Jika ditanya arah, pasti saya menjawabnya dengan muntah darah.

Kendati begitu, saya mengikat satu kata yang sering keluar muncul: Pomade. Perihal itu, saya bisik-bisik menanyakannya. Dia menjawab anu anu, ini, itu. Saya hanya menanggapi dengan “oh” saja.

Setelah 120 menit bersama para pendekar Jamaah Pomadeiyah, saya tegaskan kembali ketidaktahuan saya di sini. Dan setelah tidak tahu, saya pastikan gagal mengikutinya meski hadir 10 kali bersama mereka. 

Data-data yang mereka obrolkan mental semua dari kepala. Saya seperti anak baru sebulan lahir yang diterangkan jenis-jenis batu akik.


Bintaro, 18 Maret 2015 pernah dimuat di blog saya yang almarhum:abdullahzuma.blogspot.com pada Rabu, 18 Maret 2015. Diperbaiki 28 Mei 2025


Tidak ada komentar:

Posting Komentar