![]() |
Li Sun-hoan pada cerita silat Khu Lung |
Li Sun-hoan paham ragam jenis, seni meminum, dan cara mendapatkannya. Bahkan terampil menengarai racun di dalamnya hanya dengan penciuman kendati ahli dari segala racun mengusir warna dan aromanya.
Li Sun-hoan bisa berkendi-kendi minum anggur meski tubuhnya rentan dan terkesan rapuh dipandang orang. Ia sering terbatuk darah seperti mengidap penyakut paru menahun. Namun, itu bukan alasan terbaik untuk meninggalkan anggur.
Meskipun mabuk, ia tak dapat dikelabui musuh-musuhnya karena instingnya pendekar kelas wahid adalah cepat tanggap dan langsung bereaksi sesuai keadaan, kemudian memahami duduk perkara.
Di beberapa fragmen kisah, memang ia terperdaya sampai menderita dan nyawanya diambang ajal, tapi bukan karena mabuk anggur, melainkan sifatnya yang pemaaf dan pengasih.
Pemaaf dimanfaatkan musuh-musuhnya untuk pura-pura menyerah. Sementara pengasih disalahgunakan sahabatnya sendiri yang meminang kekasihnya, Lim si Im, yang sangat dicintainya. Kekasih belahan jiwa dengan cinta yang dipupuk sedari keduanya belia dengan janji sampai ke pelaminan.
Namun, karena sahabat yang pernah menyelamatkan jiwanya ingin meminang Lim si Im, Li Sun-hon pun mundur. Tak hanya kekasihnya, rumah dan segenap hartanya pun diserahkan kepada sahabatnya itu.
Bagi Li Sun-hoan, sahabat adalah sahabat. Sekali sahabat, apa pun yang diminta, diberikannya. Sekali sahabat, seribu salah akan dimaaf.
Hidup manusia ini memang kontradiksi, penuh pertentangan.
Li pun luka yang sebenar-benarnya, seberat-beratnya. Ia masuk ke dalam kubangan mau tidak mau, tapi harus mau menanggungnya dengan tabah, tapi penuh sesal. Derita panjang menggelayutinya kemana pun pergi. Dan tentu saja menjalani hidup dengan rasa bersalah karena dia tahu Lim si Im juga pada akhirnya tidak menyukai keputusannya itu.
Pendekar pilih tanding, yang ditakuti lawan disegani kawan, berjuluk pisau terbang kilat, ternyata urusan hati tak bisa mengurusnya sama sekali.
Hidup manusia ini memang kontradiksi, penuh pertentangan.
Dan tentu saja, ia dicambuk kesepian seumur hidup.
Kesepian adalah hal yang paling menyebalkan dalam hidupnya, namun sayangnya kesepianlah yang begitu sering menemaninya.
Untuk mengusir kesepiannya, tiap perjalanan di kereta, Li Sun-hoan memanfaatkan pisau kecilnya untuk mengukir pada sebuah kayu dengan jemarinya yang panjang dan halus. Kayu itu perlahan menjelma profil seorang perempuan yang hangat.
Pada kontur wajahnya, perempuan itu tak lagi muda memang. Kerut-kerut kecil tampak di sekitar matanya. Namun, sepasang mata tampak tetap muda belia. Sepasang mata bersemu hijau seperti angin musim semi bertiup menggoyangkan daun pinus, hangat dan lentur. Seperti air laut yang bermandikan sinar mentari, penuh vitalitas.
Profil perempuan kayu itu tampak serasi dan tidak seperti patung, tapi sungguh-sungguh hidup.
Akhirnya, perempuan itu hampir benar-benar hidup dan sempurna. Namun, Li Sun-hoan segera melemparkannya keluar kereta, ke jalanan yang tak pernah diliriknya lagi.
Meneguk anggur. Merasa sepi.
Kemudian mengukir lagi. Ketika hampir sempurna, ia melemparkannya ke jalanan yang tak pernah diliriknya kembali.
Jika Li Sun-hoan merampungkan mengukir kayu itu, maka akan menjelma Lim si Im, perempuan yang selalu dirindukannya. Perempuan di keseluruhan harap-pengap napasnya seumur hidup.
Hidup manusia ini memang kontradiksi, penuh pertentangan.
Suatu ketika, suami Lim (sahabat Li) pergi selama dua tahun. Selama itu pula Li Sun-hoan menjaga Lim si Im. Jangankan minta imbalan, apa yang dilakukannya hanya pembaca dan pengarang yang tahu.
Jika malam tiba, Li Sun-hoan akan menyimak nyala lilin di sebuah kamar loteng. Di situlah Lim menenun kain. Sementara Li Sun-hoan berjaga sepanjang malam dari persembunyiannya, bersiap dari bahaya apa pun yang mungkin saja menimpa pada si jantung hati yang bukan miliknya lagi.
Oh, apakah ini?
Angin dingin laksana pisau, menggunakan bumi sebagai alasnya, dan mengiris manusia seperti daging ikan. Badai salju memanjang beribu-ribu mil, membuat segala sesuatu seakanakan berkilauan bagai perak.
Kalimat-kalimat itu cerita silat ini dibuka penulisnya, Khu Lung. Sebuah pembuka yang menawarkan kesepian sebagaimana Li Sun-hoan menjalani seluruh hidupnya. Hanya berteman kusir, kuda, dan kayu yang akan diukir, yang kemudian akan dilemparkannya keluar tanpa diliriknya.
Meneguk anggur lagi. Merasa sepi lagi.
Kenari, 30 Agustus 2013 dikembangkan dan diperbaiki 30 Mei 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar