Untuk Hari Buku 23 April
Ini cerita keburukan teman saya. Tak usah disebutkan namanya. Tapi demi jalannya cerita, sebut saja Wahyu. Tak usah ada nama belakangnya.
Saya kenal dia di warkop Tampomas, Ciputat. Waktu itu sedang menangisi kepergian Gus Dur. Dari obrolan, muncullah ide untuk tahlilan 7 hari. Karena alasan mepet, acara diundur jadi peringatan 40 hari. Saya dijebak teman-teman jadi ketua panitia. Saya dendam sekali sama mereka.
Waktu ngobrol bersama itu, ada seorang yang tak saya kenal. Rambutnya ikal gondrong sebahu. Tapi hampir tak pernah diurai. Ia bercelana jeans, berkaos oblong dibungkus kemeja panjang merah bergaris-garis tanpa dikancingkan. Sementara alas kakinya sandal.
Sebut saja orang tersebut Wahyu. Tak usah ada nama belakangnya. Ia kemudian ditunjuk sebagai sekretaris panita. Padahal, seumur-umur saya tak pernah kepikiran berkolaborasi dengan makhluk itu. Tapi malang kadang tak dapat ditolak, mujur kadang tak selalu diraih. Begitulah.
Tak usah diceritakan jalannya kepanitaan itu. Yang jelas peringatan wafat Gus Dur berjalan dengan baik berkat kerjasama dan uluran tangan beragam pihak. Cerita ini difokuskan kepada Wahyu. Tak usah ada nama belakangnya. Lebih khusus, keburukannya.
Keburukan Wahyu menyangkut buku! Keburukan yang bersumber dari kebodohan saya. Ia memang terampil memanfaatkan kelemahan orang lain. Sebaiknya siapapun mengusir jauh-jauh sifat saya ini. Begini ceritanya.
Saya punya buku “Bermain-main dengan Cinta” cetakan kedua karya Bagus Takwin. Buku itu saya senangi karena pernah saya kutip-kutip untuk seseorang. Seseorang yang telah dilahap rimba entah.
Kedua, buku itu saya beli dengan dramatik. Sebelum pulang ke kampung halaman pada Lebaran tahun 2003, saya mampir ke Gramedia Blok M. tujuannya melihat-lihat buku, bukan beli, mengingat uang saya pas-pasan untuk pulang.
Tapi begitu melihat buku itu sudah tanpa pembungkus plastik, agak lecek, saya membaca daftar isi dan halaman-halaman sembarang. Kemudian saya berkesimpulan, menguras isi kantong. Harganya Rp 17.000. Uang di saku sekitar Rp 3.000.
Karena tak mungkin bisa pulang kampung dengan uang itu, saya menebalkan muka dengan mendatangi teman di daerah Serengseng. Pinjam uang.
Kemudian, buku tersebut dipinjam teman sambung menyambung. Jika pulang kondisinya sudah lain. Kalimat-kalimat tertentu sudah ditandai dengan stabilo. Ada juga dengan pensil dan bolpoin. Mungkin mereka juga mengutip kutip kalimat itu. Untuk keperluan apa mereka melakukannya sampai saat ini masih misteri.
Kemudian buku itu dipinjam teman saya lagi. Hampir tak bisa bertahan lama di tangan saya. Dan bisa diduga, buku itu hilang tanpa jejak. Yang meminjam mengklaim sudah mengembalikan. Sementara di tangan saya tak ada. Saya harus mengadu siapa? Setahu saya waktu itu belum ada tempat pengaduan kehilangan buku. Baiklah, saya relakan.
Di lain waktu, sekitar terminal Senen, saya ketemu buku Bermain-main dengan Cinta lagi, tapi edisi pertama. Isinya agak berbeda, karena ada perbaikan-perbaikan di edisi dua. Saya beli buku itu dengan harga Rp 5.000.
Saya baca buku itu di bus sambil mengenang buku lama.
Kemudian, dan ini letak kebodohan saya, saya ceritakan buku tersebut kepada Wahyu. Saya tambah-tambahkan ceritanya.
“Mana bukunya?” tanya dia.
“Ini di tas,” jawab saya.
“Pinjam ya.”
Saya barangkali dihipnotis. Tanpa berpikir panjang, diserahkanlah buku itu. Tapi malang kadang tak dapat ditolak, mujur kadang tak selalu diraih. Begitulah, bertahun-tahun buku itu tak dikembalikan. Saya ingin bertanya kepada pihak berwajib atau sunat, jika buku setebal 200 halaman, apa mungkin dibaca sampai 2 tahun?
Ini cerita keburukan teman saya. Tak usah disebutkan namanya. Tapi demi jalannya cerita, saya telah menyebutnya, Wahyu. Tak usah ada nama belakangnya.
Kenari, 19 September 2013
Ini cerita keburukan teman saya. Tak usah disebutkan namanya. Tapi demi jalannya cerita, sebut saja Wahyu. Tak usah ada nama belakangnya.
Saya kenal dia di warkop Tampomas, Ciputat. Waktu itu sedang menangisi kepergian Gus Dur. Dari obrolan, muncullah ide untuk tahlilan 7 hari. Karena alasan mepet, acara diundur jadi peringatan 40 hari. Saya dijebak teman-teman jadi ketua panitia. Saya dendam sekali sama mereka.
Waktu ngobrol bersama itu, ada seorang yang tak saya kenal. Rambutnya ikal gondrong sebahu. Tapi hampir tak pernah diurai. Ia bercelana jeans, berkaos oblong dibungkus kemeja panjang merah bergaris-garis tanpa dikancingkan. Sementara alas kakinya sandal.
Sebut saja orang tersebut Wahyu. Tak usah ada nama belakangnya. Ia kemudian ditunjuk sebagai sekretaris panita. Padahal, seumur-umur saya tak pernah kepikiran berkolaborasi dengan makhluk itu. Tapi malang kadang tak dapat ditolak, mujur kadang tak selalu diraih. Begitulah.
Tak usah diceritakan jalannya kepanitaan itu. Yang jelas peringatan wafat Gus Dur berjalan dengan baik berkat kerjasama dan uluran tangan beragam pihak. Cerita ini difokuskan kepada Wahyu. Tak usah ada nama belakangnya. Lebih khusus, keburukannya.
Keburukan Wahyu menyangkut buku! Keburukan yang bersumber dari kebodohan saya. Ia memang terampil memanfaatkan kelemahan orang lain. Sebaiknya siapapun mengusir jauh-jauh sifat saya ini. Begini ceritanya.
Saya punya buku “Bermain-main dengan Cinta” cetakan kedua karya Bagus Takwin. Buku itu saya senangi karena pernah saya kutip-kutip untuk seseorang. Seseorang yang telah dilahap rimba entah.
Kedua, buku itu saya beli dengan dramatik. Sebelum pulang ke kampung halaman pada Lebaran tahun 2003, saya mampir ke Gramedia Blok M. tujuannya melihat-lihat buku, bukan beli, mengingat uang saya pas-pasan untuk pulang.
Tapi begitu melihat buku itu sudah tanpa pembungkus plastik, agak lecek, saya membaca daftar isi dan halaman-halaman sembarang. Kemudian saya berkesimpulan, menguras isi kantong. Harganya Rp 17.000. Uang di saku sekitar Rp 3.000.
Karena tak mungkin bisa pulang kampung dengan uang itu, saya menebalkan muka dengan mendatangi teman di daerah Serengseng. Pinjam uang.
Kemudian, buku tersebut dipinjam teman sambung menyambung. Jika pulang kondisinya sudah lain. Kalimat-kalimat tertentu sudah ditandai dengan stabilo. Ada juga dengan pensil dan bolpoin. Mungkin mereka juga mengutip kutip kalimat itu. Untuk keperluan apa mereka melakukannya sampai saat ini masih misteri.
Kemudian buku itu dipinjam teman saya lagi. Hampir tak bisa bertahan lama di tangan saya. Dan bisa diduga, buku itu hilang tanpa jejak. Yang meminjam mengklaim sudah mengembalikan. Sementara di tangan saya tak ada. Saya harus mengadu siapa? Setahu saya waktu itu belum ada tempat pengaduan kehilangan buku. Baiklah, saya relakan.
Di lain waktu, sekitar terminal Senen, saya ketemu buku Bermain-main dengan Cinta lagi, tapi edisi pertama. Isinya agak berbeda, karena ada perbaikan-perbaikan di edisi dua. Saya beli buku itu dengan harga Rp 5.000.
Saya baca buku itu di bus sambil mengenang buku lama.
Kemudian, dan ini letak kebodohan saya, saya ceritakan buku tersebut kepada Wahyu. Saya tambah-tambahkan ceritanya.
“Mana bukunya?” tanya dia.
“Ini di tas,” jawab saya.
“Pinjam ya.”
Saya barangkali dihipnotis. Tanpa berpikir panjang, diserahkanlah buku itu. Tapi malang kadang tak dapat ditolak, mujur kadang tak selalu diraih. Begitulah, bertahun-tahun buku itu tak dikembalikan. Saya ingin bertanya kepada pihak berwajib atau sunat, jika buku setebal 200 halaman, apa mungkin dibaca sampai 2 tahun?
Ini cerita keburukan teman saya. Tak usah disebutkan namanya. Tapi demi jalannya cerita, saya telah menyebutnya, Wahyu. Tak usah ada nama belakangnya.
Kenari, 19 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar