Minggu, 09 April 2017

Tak Bisa Menghindar dari Juragan Empang

Sekali waktu saya menghadiri undangan pernikahan saudara dari pihak istri yang tentunya menjadi saudara saya juga. Sedari pagi, di sahibul hajat memutar musik ceria. Tak mungkin mereka memutar lagu-lagu sendu yang menguras air mata yang membuat tamu dan mereka sendiri enggan untuk sekadar mencuri goyang jari tangan saja, bukan?

Pilihan sahibul hajat mendaulat dangdut untuk menandakan mereka gembira. Musik ini memang menawarkan gairah meski liriknya berisi aku yang tertipu, dikhianati, atau duka sedalam samudera atau sakit tak terperi berlapis-lapis. Musik itulah yang mengiring napas dan denyut nadi rakyat kebanyakan. Dan, gendang telinga siapa yang bisa berkelit dari musik itu?

Begitulah, pagi itu saya tak bisa menghindar dari dangdut sahibul hajat yang terhalang tiga rumah. Musik itulah yang mengiring saya sejak dalam kandungan bunda, meski itu terdengar dari radio tetangga.

Sambil mengisap rokok dan sesekali menyeruput kopi sasetan dengan suasana dingin pegunungan, saya mendengar pertama kali yang kemudian aku mengetahuinya berjudul "Juragan Empang". Saksinya matahari pagi yang menghangatkan embun di daun singkong, sengon, bambu, pisang, ubi jalar, kelapa, dan rerumputan. Ya, juragan empang. Lagu itu belakangan bergenre tarling. Tapi saat saya pertama kali mendengar telah bersulih menjadi dangdut.

Saya jatuh cinta pada lagu itu. Nadanya membangkitkan saya untuk mengikat beberapa liriknya, untuk suatu saat saya mencari lirik dan memutarnya seberapa kali pun saya maui.   

Setelah saya memiliki kesempatan untuk menyimak liriknya di kemudian hari, selain karena nadanya, saya menyukai kesederhanaan lirik, meski untuk itu saya menebak-nebak maknanya karena berbahasa Cirebonan. Saya suka yang sederhana.

Lirik lagu itu berisi cinta. Cinta dengan dengan deskripsi sederhana. Bukan cinta yang bisa membunuh atau kasih yang tak sampai karena satu persoalan pelik tanpa deskripsi kuat yang membuat si penanggungnya merasa begitu.

Juragan Empang berisi tentang kegembiraan seorang perempuan yang mencintai lelaki yang berstatus juragan empang. Kegembiraannya sebagaimana ketiban bintang.

Bagaimanakah rasanya ketiban bintang? Bukankah bintang itu panas? Seingat saya, menurut Ilmu Pengetahuan Alam, bintang adalah matahari yang jauh sehingga tampak kecil. Tapi bukankah manusia punya cara sendiri menafsirkan sesuatu yang tak mesti berdasarkan Ilmu Pengetahuan Alam? Bukankah kita mengenal bintang film, pelajar, lapangan, dan lain-lain?

Begitu pun dalam lagu itu, bintang adalah sesuatu yang berharga, menyenangkan, diidamkan, dan kemudian jatuh ke pangkuan. Bukankah itu menyenangkan?

Maka, lirik lagu itu berkata demikian:

Urip sun lagi ketiban lintang (hidupku sedang kejatuhan bintang)
Gemerlap cahya sinare terang (gemerlap cahaya sinarnya terang)
Dasar nasib sun lagi kaberan (dasar nasib sedang beruntung)
Didemeni ning juragan empang (dicintai oleh juragan empang)

Rasa seneng sun ora kejagan (rasa bahagia tak tertahankan)
Due demenan macem sampean (punya gebetan seperti kamu)
Uwonge boral bli perhitungan (orangnya royal tak perhitungan)
Ngupai sewakan bandeng se empang (memberi ikan bandeng seempang)

Lalu, bagaimana kisah cinta perempuan itu dengan juragan empang? Apakah berakhir bahagia sebagaimana film-film India atau derita? Ada baiknya Saudara mencari sendiri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar