Tentu saya masih ingat percakapan dengan seorang kawan dua hari sebelumnya. Saya yakin dia juga mengingatnya. Percakapan itu disaksikan kawan-kawan lain karena kami mengemukakannya tidak dengan berbisik-bisik seperti merencanakan kudeta tengah malam atau mengintip perempuan sedang mandi.
“Kita bertemu di Taman Ismail Marzuki ya!”
“Iya! Jam berapa?”
“Sore!”
“Ok, siap.”
“Awas jangan terlambat.”
“Elu yang sering terlambat.”
“Elu yang sering terlambat.”
Teman-teman lain tak ada yang turut campur dalam percakapan itu karena merasa bukan urusan mereka. Buat apa melibatkan diri pada hal yang bukan urusan kita, bukan? Salah-salah nanti bikin runyam urusan. Kecuali memang senang dengan kerunyaman.
Pada sore yang dijanjikan bersama kawan itu saya seperti sore sebelumnya. Saya masih mendekam di kamar. Saat itu, jika memenuhi pertemuan, saya membutuhkan waktu dua jam. Saya tidak lupa. Bahkan mengingatnya sedari bangun pagi. Tapi saya membiarkan saja badan ini rebahan. Dengan rebahan, bukankah saya tidak bisa dengan tiba-tiba di tempat yang disepakati, bukan? Begitulah. Saya malah menyeduh kopi dan menyalakan sebatang rokok.
Jika ponsel berbunyi, saya langsung memeriksanya barangkali kawan itu menginformasikan keberadaannya. Misalkan setengah jam lagi tiba di lokasi yang dijanjikan atau info batal bertemu, atau alasan klise lain. Ternyata bukan. Hanya bunyi-bunyian yang tak saya minati untuk membukanya. Saya menghampiri rokok dan kopi lagi.
Sementara saya juga tak memberikan informasi keberadaaan saya sendiri. Saya bisa saja mengirim teror bahwa saya sepuluh menit lagi tiba di lokasi. Dia juga bisa melakukan hal yang sama. Tapi sampai menjelang maghrib, saya dan kawan saya tidak saling menginformasikan keberadaan masing-masing. Serta tak memberikan informasi pertemuan itu batal atau diundur di lain waktu.
Sampai malam benar-benar datang, saya dan kawan masing tidak memberikan informasi itu. Sampai malam begitu matang. Sampai pagi. Sampai hari berganti nama dan angka. Berganti bulan. Berganti tahun.
Saat ini saya sudah menjalani lima kali lebaran. Mungkin lima kali berganti baju, celana, celana dalam, dan kaos. Entah berapa piring nasi yang telah diganyang? Berapa bungkus rokok dan kopi habis? Berapa kali napas? Namun saya tak memberikan kabar pembatalan pertemuan dengan kawan saya lima tahun lalu itu. Begitu juga kawan saya. Kami tak pernah saling mengatakan posisi masing-masing saat ini, misalkan sepuluh menit lagi akan tiba di tempat yang disepakati. Tidak.
“Kita bertemu di Taman Ismail Marzuki ya!”
“Iya! Jam berapa?”
“Sore!”
“Ok, siap.”
“Awas jangan terlambat.”
“Elu yang sering terlambat.”
“Elu yang sering terlambat.”
Teman-teman lain tak ada yang turut campur dalam percakapan itu karena merasa bukan urusan mereka. Buat apa melibatkan diri pada hal yang bukan urusan kita, bukan? Salah-salah nanti bikin runyam urusan. Kecuali memang senang dengan kerunyaman.
Pada sore yang dijanjikan bersama kawan itu saya seperti sore sebelumnya. Saya masih mendekam di kamar. Saat itu, jika memenuhi pertemuan, saya membutuhkan waktu dua jam. Saya tidak lupa. Bahkan mengingatnya sedari bangun pagi. Tapi saya membiarkan saja badan ini rebahan. Dengan rebahan, bukankah saya tidak bisa dengan tiba-tiba di tempat yang disepakati, bukan? Begitulah. Saya malah menyeduh kopi dan menyalakan sebatang rokok.
Jika ponsel berbunyi, saya langsung memeriksanya barangkali kawan itu menginformasikan keberadaannya. Misalkan setengah jam lagi tiba di lokasi yang dijanjikan atau info batal bertemu, atau alasan klise lain. Ternyata bukan. Hanya bunyi-bunyian yang tak saya minati untuk membukanya. Saya menghampiri rokok dan kopi lagi.
Sementara saya juga tak memberikan informasi keberadaaan saya sendiri. Saya bisa saja mengirim teror bahwa saya sepuluh menit lagi tiba di lokasi. Dia juga bisa melakukan hal yang sama. Tapi sampai menjelang maghrib, saya dan kawan saya tidak saling menginformasikan keberadaan masing-masing. Serta tak memberikan informasi pertemuan itu batal atau diundur di lain waktu.
Sampai malam benar-benar datang, saya dan kawan masing tidak memberikan informasi itu. Sampai malam begitu matang. Sampai pagi. Sampai hari berganti nama dan angka. Berganti bulan. Berganti tahun.
Saat ini saya sudah menjalani lima kali lebaran. Mungkin lima kali berganti baju, celana, celana dalam, dan kaos. Entah berapa piring nasi yang telah diganyang? Berapa bungkus rokok dan kopi habis? Berapa kali napas? Namun saya tak memberikan kabar pembatalan pertemuan dengan kawan saya lima tahun lalu itu. Begitu juga kawan saya. Kami tak pernah saling mengatakan posisi masing-masing saat ini, misalkan sepuluh menit lagi akan tiba di tempat yang disepakati. Tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar