Sabtu, 15 Februari 2025

Berahi di Makam Sunan Gunung Jati

Sekitar pukul 21.00, saya tiba di kompleks makam Sunan Gunung Jati Syekh Syarif Hidayatullah. Saya tiba di ujung doa tahlilan massal yang konon biasa digelar tiap Kamis malam. 

Kompleks pemakaman terletak di bukit Sembung. Sunan Gunung Jati dimakamkan di bagian paling atas bukit. Di bawahnya, adalah makam-makam keturunan-keturunannya dari generasi ke generasi hingga sekarang. Tentu saja, semakin ke bawah, keturunan paling baru. 

Jika dihitung secara keseluruhan, mungkin jumlah orang yang dimakamkan di situ ratusan kalau tidak ribuan. 

Tahlilan dan doa massal sudah selesai. Para peziarah masih ada yang datang  dan pulang. Yang datang, kemudian berdoa secara berkelompok. Ada juga yang sendirian. Ada juga yang tidak buru-buru pulang. Mereka tiduran di sela-sela antara makam atau bersila sambil meraba biji tasbih seraya mulut komat-kamit. 

Sementara di sebuah pendopo, di tengah pemakaman bagian suku bukit, belasan orang mulai menabuh terebang diiringi nyanyian shalawat dengan langgam lambat-lambat. Penampilan mereka sepertinya membuat para peziarah tertahan pulang. Paling tidak menyaksikan barang semenit dua. 

Mereka mengabadikannya melalui kamera ponsel entah merk apa saja. Saya tak berani bertanya atau memeriksanya. Takut disangka usil dan kurang kerjaan.  

Menurut budayawan Cirebon, Raffan S Hasyim, seni musik yang ditampilkan itu disebut brahi atau birahi. Penamaan birahi maksudnya adalah ekspresi yang mengandung keberahian seorang makhluk kepada khaliknya. 

Sehingga, kata dia, penyanyi dan pemain musik brahi kadang-kadang tidak jelas suaranya karena bagi mereka yang paling utama adalah menuntaskan berahinya itu.    

Alat musiknya sendiri, kata dia, sudah ada sebelum Sunan Gunung Jati. Sekitar abad ke-14, alat musik itu telah ada. Tapi dulu ukurannya lebih besar. Namanya terebang. 

Penamaan “terebang” sendiri bisa menimbulkan tafsiran “terbang” secara ruh menghadap kepada Allah. 

“Mungkin bisa ditafsirkan begitu,” katanya. 

Selain shalawat, pelantunnya membaca dzikir, untuk mengungkapkan kecintaan kepada Allah. Wujud cinta kepada Allah itu harus dengan senang. 

“Masak kita menghadap Allah dengan kesedihan. Apalagi ini namanya brahi. Orang yang birahi tidak mungkin dalam keesedihan. Itu tafsiran saya. Orang kan bisa menafsirkan berbeda,” jelas pria yang akrab disapa Opan ini. 

Menurut salah seorang pengunjung, mendengarkan musik itu membuatnya merinding. Bagi dia, musik semacam itu adalah ajakan untuk tafakur kepada kebesaran Allah SWT, juga mengundang untuk mmenghampiri pintu tobat. 

Mulai tengah malam, peziarah datang dan pergi meninggalkan. Selama 24 jam, suasananya tak jauh beda selain datang berdoa dan pergi. Suara bisik-bisik, alas kaki yang bergesekan dengan ubin, suaran kerincingan koin sedekah, adalah alunan musik lain. 

Keluar dari pemakaman, lagu Aishiqui versi remix sampai dua kali diputar. Sumbernya entah dari kios pedagang sebelah mana. Dari penjual vcd keping muncul nyanyian “Ya Allah, ya Allah” bernuansa dangdut koplo dengan nada adaptasi lagu “Jablay” miliknya Titi Kamal. 

Semakin mendekati parkiran yang terdengar adalah suara knalpot motor dan mobil yang baru datang dan akan pulang.

Cirebon, April 2016




Tidak ada komentar:

Posting Komentar