![]() |
Dahlan, ketiga dari kiri |
Beberapa waktu lalu, saya mendapat undangan serupa.
Undangan menikah: Siti Muawanah R. dengan Ence Zaenal Ramdan, Sabtu 10 Desember 2011, pkl 08 s.d. selesai. Tempat: Jl. Perintis Kemerdekaan No. 28, Kubang Hegarsari 02/12 Cibadak.
Undangan via pesan singkat ini bisa dipastikan siapa pengirimnya: Dahlan Rahmat Hidayat, selanjutnya DRH, lulusan MAN Cibadak 2003. Dialah juru kabar tak kenal lelah angkatan tersebut.
Ketika kelas satu, saya sering tertukar antara DRH dan Adi Asparudin. Juga Muhammad Yasin dan Ayi Wiharja. Kecuali Adi, ketiganya pernah sekelas di II. 2 dengan wali kelas Undang Hartono, guru Biologi yang ahli seni yang sering mengenakan topi ala Putu Wijaya. Di kelas ini, saya baru sadar sahabat-sahabat mirip itu ternyata jauh sekali perbedaannya.
Kelas II.2 terletak di antara II.1 dan II.3. Lokasinya paling selatan sekolah bekas PGA ini. Di hadapannya terdapat laboratorium kimia yang sebelah utaranya lapangan serbaguna. Kelas tersebut, baru dibuka tahun 2002. Angkatan kamilah pertama menghuni kelas ini. Sebagaimana biasanya, yang pertama selalu menadapat ujian. Setidaknya dua hal.
Pertama, ketika masuk tahun ajaran, hanya disediakan kursi tanpa meja. Berbulan-bulan kami menulis dengan meja dengkul seperti waktu di Madrasah Diniyah di kampung. Betapa sabarnya kami. Tak protes, tak walkout. Murid kelas. II.2 memang teladan, bukan? Atau memang tak punya nyali? Tak tahulah. Barangkali teladan dan tak punya nyali tipis beda dan persamaannya.
Waktu itu, belum ada pagar mengelilingi MAN Cibadak sehingga siapa pun bisa lewat, termasuk ayam milik tetangga sekitar. Makanya akan mudah menemukan tahi ayam di halaman.
Di kelas ini, ada ketua umum OSIS, Ujang Abdul Muhyi asal Gudang, Karang Tengah, bersama sekira 9 pengurus hariannya. Ada Ketua PKS (Polisi Keamanan Sekolah), Aden Badruddin, asal Tenjolaya, Cicurug dan beberapa pengurus dan anggota Pramuka aktif.
Kelas ini berpenghuni 49 orang dengan formasi bangku-meja 4 baris. Masing-masing berderet ke belakang 6 kursi dan meja. Setiap bangku dihuni 2 orang. Tapi ada bangku yang dihuni tiga orang.
Murid yang sial adalah DRH. Dia harus berdempetan bersama Chiko Permana Sidik asal Cibalung dan Asep Kamaludin, dariKalapa Carang. Tapi kemudian salah seorang siswi meninggalkan kelas ini karena menikah sehingga murid genap 48.
Kedua, di kelas ini pernah terjadi kecelakaan. Sang KM, Ujang Rahmat, asal Selajambe yang ahli bulu tangkis, pernah menaiki langit-langit untuk membetulkan genteng bocor. Rupanya ia kurang hati-hati hingga terpeleset dan jatuh. Kakinya terkilir. Tugas mulianya sebagai KM, digantikan wakil karena berhari-hari absen.
Perlu diceritakan sedikit perihal kecelakaan ini. Pembaca mungkin bertanya, kok bangunaan baru, begitu cepat ada genteng yang bocor? Apa mungkin pemborong bangunan ini berbuat curang?
Mulanya ada kesalahpahaman antara pemuda sekitar dan murid II.4. Keduanya hampir berkelahi. Ternyata ini berbuntut panjang. Mereka melempar batu ke genteng-genteng. Salah satu korbannya kelas II.2.
Karena itu terjadi musim penghujan, di kelas sering banjir. Pak Indrakilla, guru BP, mengingatkan supaya bocor genteng segera diatasi. Sebagai KM, dan karena murid lain tak ada yang mau, Ujang Rahmat turun tangan. Nahas, terjadilah kecelakaan itu.
Suatu hari, penghuni kelas II.2 tertekur dengan pelajaran matematika. Kelas demikian sepi karena Bu Guru berdiri megah di muka kelas. Saya paling tersiksa sendiri dengan pelajaran ini. Ya ampun, rimba angka itu menjelma genderuwo berkuku tajam, bergigi taring runcing siap terkam.
Bel istirahat terasa berabad-abad.
Tak dinyana dan entah dari mana, tiba-taba masuk seorang anak muda innocent ke ruang kelas. Usianya tak lebih 20 tahun. Ia bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek. Ia berdiri di depan kelas, membelakangi Bu Guru yang wajahnya langsung pucat sepucat saya menghadapi pelajarannya. Kelas ini sesepi kuburan malam Jumat Kliwon.
Penghuni kelas, termasuk kelas, termasuk saya mematung seketika.
Lalu, tanpa sepatah kata pun, anak muda itu keluar kembali.
Hingga kini, peristiwa itu tak terjelaskan!
Patut dicatat pula, bahwa kelas II. 2 pernah juara pertama perlombaan drama se-MAN Cibadak yang diselenggarakan OSIS. Namun, jangan bangga dulu, dari 20 kelas dari 3 angkatan, hanya 2 kelas yang mengirimkan delegasinya. Kelas II. 2. Dan IPA 2. Entah bagaimana ceritanya, dewan jurinya adalah guru PPKn dan guru olahraga.
Namun, juara tetap juara, bukan?
Beberapa nama alias DRH
Di antara sahabat-sahabat, DRH memiliki beberapa nama alias. Ia dipanggil si ucing. Ada pula yang menyapa Dahlan Munir atau Dayang. Barangkali di rumah, di kampungnya, dia punya sapaan lain juga. Saya tidak pernah tahu asal-usul kenapa dipanggil demikian. Tapi yang jelas, sepertinya dia tak keberatan dengan nama itu.
Perawakan DRH mungil. Rambitnya ikal. Kalau tersenyum, matanya ikut terpejam. Gaya jalannya lincah. Dia mudah bergaul dengan siapa saja; guru, murid, laki atau perempuan, lintas kelas, lintas angkatan.
Satu hal yang saya tahu, dia sering menyingkat namanya jadi DRH. Ini saya ketahui, ketika menuliskan sesuatu di buku harin saya. Ah, sebenarnya bukan buku harian seperti anak-anak sekarang, tapi lembaran buku-buku yang tak terpakai, saya kumpulkan. Kemudian dijepit. Jadilah untuk coret-coret. Beberapa teman pernah menulis di situ, hingga kini terawat dengan baik, sebagai kenangan 9 tahun lalu. Tak terasa, sewindu lebih. Ah, waktu memang brengsek!
Sebenarnya saya sempat saru, karena ada sahabat lain yang berinisial sama, yaitu Dede Rahmawati. Dia menyingkat DRH pula. Tapi saya yakin itu tulisan Dahlan atau Ucing, atau Dayang, atau Munir.
Hanya setahun sekelas dengan DRH. Perpisahan dirayakan di gunung Salak. Ah, bukan perayaan juga. Kami tak meniatkan itu. Sebelas orang berangkat diangkut angkot sewaan. Sopirnya DRH. Dia lihai mengemudi. Perbekalannya sederhana saja; beras, ikan asin, lilin, minyak goreng dan sekilo jengkol; DRH pula yang bawa.
Di gunung, tak ada peristiwa yang layak dicatat. Kami hanya memindahkan tidur dan makan. Tidak ada kata saling berpisah yang mendayu-dayu seolah hidup akan berakhir begitu saja. Tidak! Kami berkumpul, ya berkumpul saja. Selesai urusan!
Oh, iya, di antara kami ada yang membawa gitar sebagaimana orang-orang camping. Chiko dan Effe adalah gitaris nomor wahid di antara kami. Kami nyanyi-nyanyi lagu dangdut. Sayang sekali Abdul Azis tidak ikut. Kalau ada, pasti joget. Saya pernah menyakasikan sendiri saat kami melawat di Gunung Walat. Jogetnya lain dari yang lain. Tapi sayangnya, saya kesulitan menggambarkannya.
Kelas tiga, DRH masuk jurusan IPS. Intensitas pertemuan bersamanya berkurang. Tapi tetap bertegus sapa jika ketemu.
Dan perpisahan pun tak bisa dihindarkan. Sahabat-sahabat menggulati rimba masing-masing, dengan nasib sendiri-sendiri.
Seperti doa yang diungkap salah seorang guru di buku album angkatan 2003. Ka kulon sing moncorong, ka wetan sing mencrang. Ka kidul sing punjul. Ka kaler ulah epes meer.
Lalu, bagaimana yang di tengah? Karena itu tidak didoakan, saya berdoa sendiri saja, semoga genah merenah tuma’ninah. Amin…
Setelah berpisah, tentu saja pertemuan sukar untuk didapatkan. Tak mungkin bertemu kalau tak meniatkan. Kalaupun menggunakan teori kebetulan, hanya sepersekian persen kemungkinannya. Tidak seperti angkatan sekarang, di buku album pasti terdapat nomor ponsel, FB atau Twitter. Waktu itu hanya tertera nama, alamat, pesan dan kesan. Selesai!
Tentu saja, kami kehilangan kabar sahabat-sahabat.
Dalam pada itu, entah dengan motif apa, muncul sosok DRH sebagai penyambung lidah kabar. Entah bagaimana caranya, ia memiliki nomor ponsel hampir seluruh angakatan 2003. Kemudian mengabarkan kondisi sahabat-sahabat; mulai menikah, sakit, meninggal atau apa pun.
Dan, pada akhirnya, menjadi kebiasaan kami, ketika mendapati kabar tentang sahabat yang perlu diketahui sahabat lain, maka sahabat yang pertama dikirimi SMS adalah DRH. Kemudian secara mekanis, ia menyebarluaskannya.
Adi Asparudin pernah berkomentar,”Si Dahlan mah Dinas Perhubungan angkatan 2003.” Luqman, asal Garunggang, mantan wakil MPK, pernah berkomentar mirip, tapi beberapa tingkat lebih tinggi. Ia menyebut Dahlan Menteri Perhubungan 2003.
Barangkali sahabat-sahabat lain, punya julukan tersendiri. Saya sendiri punya gelar khusus, yaitu DRH penyambung lidah angkatan 2003, sebagaimana di judul tulisan ini.
Sehat selalu, sahabatku.
Kenari, 27 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar