Senin, 22 Agustus 2022

Bukan tentang Brigadir J. dan Bukan tentang Musik


Saya menyukai beberapa jenis musik, mulai dangdut, pop, rock, keroncong, hingga reggae. Tentang kesukaan yang disebut terakhir ini, saya terpengaruh teman saya, Pagar Dewo, ketika sama-sama ngekos di Instalasi, Ciputat pada sekitar 2012 sampai 2013. 

Saat itu, ia hampir tiap hari memutar lagu-lagu Bob Marley seperti Sun Is Shining, Exodus, Rastaman, I’m Still Waiting, Cry to Me, Jamaica Rum, dan lain-lain. Alat pemutar musiknya adalah sebuah komputer berwarna putih yang menjelma agak krem dengan hard disk, kalau tak salah ingat, hanya berkapasitas 16 gb. Namun, sound-nya lumayan bagus, tapi lupa merknya. 

Ia juga menyukai karya pemusik reggae Tanah Air, di antaranya Tony Q. Rastafara. Maka tak heran, ia sering memutar Tertanam, Om Funky, Ngayogjakarto, dan lain-lain. Saya kemudian suka salah satu lagunya, Paris van Java.  

Ketika 2013 saya membeli notebook merk HP berwarna biru. Saya lupa harga pesisnya, tapi ingat prosesnya dan berani sumpah, mendapatkan benda itu dengan cara mencicilnya selama 10 bulan. Kemudian, saya meng-copy paste seluruh keloksi reggae Pagar Dewo. Hingga kini, koleksi itu masih tersimpan di notebook yang masih berwana biru itu. Namun, kondisinya senin kemis alias tengah sekarat. Kasihan, ia tak cukup biaya untuk berobat ke tukang servis mana pun.

Di antara sekian banyak lagu Tuan Bob Marley, anehnya, Pagar Dewo ini jarang sekali memutar lagu No Women No Cry. Entah kenapa, mungkin ada kenangan buruk dengan lagu itu yang menyakitkan, menyiksa, seolah meremas-remas ulu hati dan jantungnya, serta menggoncankan hidup dan jiwanya. 

Sebentar, sebelum lanjut, tiba-tiba saya ingat pada 2000-2003. Medio itu saya sedang mondok di sebuah pesantren di Parungkuda, Sukabumi, yaitu Assalafiyah Nurul Hikmah. Di sebuah kamar kobong, pernah saya temukan tulisan No Women No Cry. Tentu saja saya tidak pernah tahu sejak kapan, siapa yang menuliskannya, karena latar belakang apa dan untuk tujuan apa. Yang jelas, saya tak meminjam mata siapa pun dan mampu membaca, dan mengingatnya. 

Namun, jika Saudara saat ini iseng meminta saya untuk menunjukkan alat bukti, maka saya tak mampu. Saya tak memiliki alat bukti sepeser pun. Hanya ingatan yang barangkali teman saya yang semasa ngobong di situ sudah melupakannya sehingga saya dianggap mengada-ada. 

Saudara mau percaya atau tidak pada ingatan saya yang tak didukung alat bukti tersebut, saya tak peduli. Saya tak tak butuh kepercayaan Saudara! Camkan!

Jadi, terkait asal-usul kalimat itu, saya tak tahu apa-apa, termasuk bahwa sebagai salah satu judul lagu Bob Marley. Jangan heran, karena sedari kecil, saya diasuh dangdut Bang Haji Rhoma Irama dan kasidah Nasida Ria. 

Namun masalah makna, remang-remang saya menerjemahkannya sebagai, tak (punya) perempuan (kekasih), tak (perlu) menangis. Saya merasa benar-benar-benar dengan pemaknaan itu. Tentu saja saya juga merasa seluruh pemahaman orang Inggris dan Jamaika sesuai dengan pemahaman saya. Kemudian menyimpan dan mengendapkannya di pikiran. 

Bebalnya, saya tak langsung mencari kamus bahasa Inggris (yang biasanya ada keterangan memiliki miliaran kata, meskipun sukar untuk dibuktikan karena pihak mana yang mau menghitungnya secara manual, bukan?) milik tetangga misalnya, atau menanyakan langsung ke guru bahasa Inggris untuk memeriksa betul tidaknya pemahaman saya itu. Atau serendah-rendahnya, memeriksakan diri pemahaman saya ke teman yang mendapatkan nilai 8 sampai 10 di rapornya. Tidak. Bebal, bukan? 

Sekali lagi, saya tak melakukan sharing pemahaman karena sudah menganggap diri benar-benar benar. Buat apa mesti sharing, bukan? Itulah bebal murakab yang pernah saya alami.

Nah, saat bertemu Pagar Dewo inilah saya baru mendapatkan pemahaman baru tentang maknanya. Pemahaman itu pun bukan lahir dari saya yang bertanya, tapi secara kebetulan dia menjelaskannya. 

“Banyak yang keliru memahami No Women No Cry,” katanya suatu ketika sambil melinting tembakau merk Mr. Brown dengan papir merk Pak Lesab, sementara di antara saya dan dia ada segelas kopi hangat merk kapal api dengan air yang dipanaskan dari pemanas listrik. 

Saya menyimaknya karena tiba-tiba tersadarkan bahwa bisa jadi pemahaman saya dari 2000 sampai 2012 ini keliru besar. Tapi saya diam saja agar kebebalan saya selama 12 tahun bisa tersembunyi dengan aman. Saya turut melinting saja agar kecamuk dalam pikiran tak tampak pada roman muka. 

No women no cry pada lagu itu sebetulnya berarti, ‘jangan, gadis; jangan menangis!’,” jelasnya. 

Dengan demikian, kata dia, sesungguhnya lagu ini bukan untuk menghibur pria yang tidak memiliki atau susah mendapatkan kekasih atau sedang putus cinta. 

Alamak, gugur sudah no women no cry yang saya pahami tanpa guru saat itu juga. 

Tentu saja saya tak berani menyanggah penjelasan Pagar Dewo karena pemahaman dan jam terbang tentang jenis musik dan penguasaan bahasa Inggrisnya ibarat langit dan bumi dengan saya, sejauh utara dan selatan. Ibarat jabatan, ia berpangkat inspektur jenderal, saya hanyalah seorang bharada. 

Semakin sah pemahaman dia dianggap sahih karena ditunjang kemampuannya yang terampil bermain gitar dan bernyanyi, sementara saya tak bisa memainkan satu alat musik pun, kecuali bersiul; itu pun kalau mulut dianggap salah satu jenis alat musik. Namun sayang, sampai saat ini belum pernah saya mendengar status mulut sebagai alat musik. Dengan demikian, harapan satu-satunya agar saya dianggap bisa bermain musik pun, rontok sudah.  

Selain itu, saya lahir dengan menyandang nasib sebagai seorang yang tunanada. Artinya bukan hanya saat lahir, tapi sampai sekarang. Misalkan Saudara bernasib buruk, tiba-tiba kita terjebak pada sebuah situasi yang mengahruskan bernyanyi sebuah lagu, maka akan mendapati suara saya fals dan berbunyi sebelum waktunya atau terlambat. Makanya Saudara akan meringis dan menangis sejadi-jadinya jika mendengar saya azan, baik maghrib atau subuh. Itulah tunanada. Istilah ini dihadiahkan Pagar Dewo.  Dan itulah bakat saya yang harus dipendam. 

Dengan demikian, dalam bidang itu, jika dia kadiv propam, saya tunanada. 

Reggae memang bukan satu-satunya jenis musik kesukaan Pagar Dewo. Sesekali ia memutar Still Got The Blues milik Gary Moore versi pada sebuah konser. Kadang ia mendengarkan koleksi lagu-lagu Time Bomb Blues. Karena itulah, pada akhirnya saya kenal beberapa lagu grup musik asal Bandung ini seperti Down in Timika Road, Blues dan Mimpi, Why Should You Go, Mungkin, Bawaku Pergi, dan Goodbye My Blues. 

Tentang Goodbye My Blues, jika saat ini memutarnya, saya sering teringat akan gang di pinggiran Pesanggrahan pada dini hari. Saya berjalan sendirian melewati Sanyo, tempat anak-anak nongkrong sambil tertawa. Teringat selebaran-selebaran dengan HVS yang terempel di pagar tembok, tentang spanduk-spanduk, warkop, warteg, warnet, wartel, dan toko buku. Lalu, ingat Pagar Dewo dan lintingan tembakau Mr Brown dan papir Pak Lesab. 

Namun, sampai saat ini saya tak pernah bertanya kenapa Pagar Dewo menyukai dua jenis musik itu, reggae dan blues. Sampai saat ini dan mungkin nanti saya tak akan menanyakannya karena merasa tidak perlu. Karena tidak bertanya dan tak memerlukan jawabannya, jadi saya tidak tahu. Karena itulah saya tak berani mengambil kesimpulan. 

Sejak menyukai reggae dan tertular blues juga, saya mengembangkannya secara mendiri. Saya mencari grup atau penyanyi lain pada kedua genre itu. Pada reggae, ketemulah saya dengan penyanyi Alpha Blondy. Karena itulah saya menyukai Peace In Liberia, Sebe Allah, Jerusalem, dan Brigadier Sabari

Tentang lagu yang disebut terakhir ini, karena belakangan terjadi kasus pembunuhan terhadap Brigadir J., saya sempat mencari tahu terjemahannya Namun, tak menemukannya. Entahlah Alpha Blondy itu menggunakan bahasa apa sehingga belum ada seorang pun yang menerjemahkannya. 

Jadi, oleh sebab itu, sampai saat ini saya tak bisa memberi tahu tentang isi lagu Brigadier Sabari sebagaimana pihak kepolisian belum bisa membocorkan motif pembunuahn terhadap Brigadir J. Pasalnya ini menyangkut orang dewasa. 

Beberapa tahun sebelum menyukai reggae, sekitar 2005, saya memergoki teman saya yang lain, Abi Setyo Nugroho, yang menyanyikan I Short the Sheriff. Tidak hanya sekali. Ia sepertinya hafal betul lagu itu. 

Namun, saya tak pernah mendengar lagu-lagu Bob Marley yang lain dinyanyikan. Di samping itu, tak pernah bertanya sejak kapan dan kenapa menyukai reggae dan Bob Marley? Bisa jadi dia tidak menyukai seluruh lagu reggae, bukan? Karena tidak pernah bertanya, jadi saya tak pernah tahu. Karena itulah, saya tak berani menyimpulkan. 

Saya belum pernah bertanya pula apakah dia hafal seluruh lagu Bob Marley, baik yang sudah tercipta maupun belum sempat tercipta. Saya juga belum memastikan, jangan-jangan dia hafal hanya satu lagu saja. Lalu motifnya apa menghafal lagu itu? 

Terkait motifnya, saya sempat membentuk tim melibatkan banyak pihak untuk melakukan scientific investigation. Diam-diam saya mencari tahu terjemahan lagu itu. Mohon maaf harus melakukan tindakan yang kurang terpuji, saya akhirnya sowan ke Google, karena sejak duduk di bangku sekolah hingga sempat kuliah, saya bebal dalam bahasa Inggris. 

Berdasarkan terjemahannya, ternyata lagu itu berisi tentang seseorang yang menembak seorang sheriff. Siapakah sheriff itu? Ketika saya cari tahu di Google, ternyata sebuah jabatan di kepolisian setingkat Kapolres di sini.  

Saya menduga, jangan-jangan Abi Setyo Nugroho menyukai lagu itu karena memiliki dendam pribadi kepada sheriff

Baiklah kita bikin dugaan lanjutan saja apa motif di balik kebenciannya terhadap sheriff sampai harus membunuhnya. Bisa jadi, dia dendam karena sheriff itu pernah melipat salah satu halaman pada buku miliknya, sering menggoda pacarnya, merekayasa sejumlah kasus, melindungi mafia dan preman, menjadi kaisar judi konsorsium 303, merencanakan dan menjadi otak pembunuhan seseorang.  

Oh ya, hampir kelewat, ia sempat menyanyikan Buffalo Soldier. Ternyata prajurit kerbau itu artinya. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar