Saya turun dari angkot dengan sisa kantuk menempel di pelupuk. Agak berat juga kepala ini. Mungkin masuk angin. Tengah malam waktu itu, di Ciawi yang basah, bekas hujan yang kini bercampur embun. Dingin menusuk sumsum. Setiap orang tampak mengatupkan jaketnya masing-masing. Mungkin mereka berharap ada api dalam kadar tertentu di jaket itu.
Saya percepat langkah ketika di depan, bus menuju Kampung Rambutan ngetem. Bus hanya menyisakan beberapa jok kosong. Tapi tak penuh karena jok yang mestinya diisi tiga atau dua orang, diduduki seorang. Setiap penumpang sepertinya tak ingin teman duduk, menjauhi sesama manusia. Saya pun begitu.
Dua puluh menit kemudian, sopir bus menggeramkan mesin. Ia memutar lagu slow milik Panbers: Kucari Jalan Terbaik. Lagu ini kalau tak salah ingat, pernah dinyanyikan Yuni Sara dengan baik, dan pernah ada versi dangdutnya di Album Minggu. Entah siapa yang nyanyi.
Lalu lagu Nasib Cintaku. Ini lagu jika tak diputar, saya anggap tak pernah mendengarnya seumur hidup. Padahal pernah. Tapi lupa sama sekali. Saya langsung akrab dengan nada dan liriknya karena jelas pernah mendengarnya. Entah kapan, entah dimana. Lagu itu semacam fail lama di folder. Saya lupa menyimpan. Saking lupa hingga tak pernah menganggapnya ada, padahal ada.
Begitulah, kemudian saya ingin lagu ini awet, setidaknya sampai Kampung Rambutan. Tapi sayang, yang punya SK mengawetakan lagu ada di tangan sopir. Tapi, dalam hati, saya ucapkan juga terima kasih kepadanya karena sudah mempertemukan saya dengan fail lama. Entar kalau ketemu wifi gratis, akan saya unduh. SK di tangan saya, memutarnya seawet yang saya mau.
Lantas lagu Musafir. Ini pertama kali saya dengar saat kelas satu di sekolah menengah atas, ketika saya main ke rumah teman sebangku. Di rumah teman, ayahnya memutar lagu itu.
Musafir, begini bunyi lagu itu:
Tiada tujuan yang kau harap/Mata angin tak kau hiraukan/Ke barat kau melangkah/ Ke timur juga kau tuju/Ke utara kau pergi/Ke selatan pun engkau berlari/Musafir, hidupmu bebas tiada ikatan/Musafir, berkelana sepanjang waktu.
Musafir, apakah yang engkau cari?/Musafir, apakah arti hidupmu?/Tiada siang maupun malam/Kau pergi sekehendak hatimu/Musafir, hidupmu bebas tiada ikatan/ Musafir, berkelana sepanjang waktu/ Musafir, apakah yang engkau cari?/Musafir, apakah arti hidupmu?/Musafir, apakah arti hidupmu?
Ini tiba-tiba. Tiba-tiba yang tak bisa ditolak, lirik ini mengingatkan saya kepada salah seorang tokoh dianggap paling berpengaruh di sastra Indonesia, Denny JA. Tokoh ini, sampai kini masih diperbincangkan sastrawan karena ia masuk di buku 33 tokoh sastra, pakai "paling" berikut "berpengaruh" pula. Denny kemudian menjawab duduk perkara di situsnya dengan menyebut diri sebagai “pejalan budaya”.
Dalam salah satu jawabannya ia mengatakan, “Saya adalah "pejalan budaya," yang tak pernah menetap di sebuah profesi saja. Kini saya mengunjungi sastra dan mencoba berkontribusi di sana. Di lain waktu saya berkelana lagi mungkin ke dunia politik praktis, atau bisnis atau dunia spiritual. Dimanapun saya berkunjung, saya mencoba belajar sesuatu dan meninggalkan sesuatu.”
Hmmm...“pejalan budaya”. Tiba-tiba saja pikiran saya menghubungkan istilah ini dengan "musafir" yang sedang saya dengar di bus ini. Semula saya menolaknya, tapi tiba-tiba ini tak bisa ditolak. Hubungan itu kemudian tiba-tiba saja membetot saya pada semacam kesimpulan sementara, “pejalan budaya” adalah “musafir” dan “musafir” adalah “pejalan budaya”. Ada miripnya, meski mungkin tak sepenuhnya.
Ini tiba-tiba lagi, jika kedua itu disamakan, maka sah tiap kata "musafir" di lagu itu diujicobakan dengan kata “pejalan budaya”. Mari kita coba. Tidak usah semuanya, bait yang ini saja.
Pejalan budaya, apakah yang engkau cari? Pejalan budaya, apakah arti hidupmu?
Pejalan budaya, apakah yang kaucari? Pejalan budaya, apakah arti hidupmu?
Nah, sampai di situlah saya tidak tahu jawabannya, kalau lirik itu diperlakukan sebagai pertanyaan. Meski Denny sudah menjawabnya di situs itu, entah kenapa, saya menganggap bukan itu. Lalu apa? Sialnya saya tak tahu. Bagaimana dengan Saudara dan Saudari?
Rawasari, 25 Januari 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar