Selasa, 02 Mei 2017

Perban

Segala sesuatu pasti ada sejarahnya. Kalau kata sejarah keberatan, gunakan saja kata riwayat atau kata yang mendekatinya. Kalau tidak ada riwayatnya, belum tentu tidak ada sama sekali, barangkali saja belum diketahui atau disembunyikan pihak-pihak tertentu. Dan jika benar-benar belum ada sama sekali, ya dibikinkanlah supaya ada. Kumpulkan beberapa ahli sejarah, kasih uang. Urusan selesai. Soal benar atau tidak, itu urusan belakangan.

Begitu pula soal perban yang menempel di dagu teman saya, sebut saja Wahyu. Berhubung sejarahnya sampai hari ini belum tahu, saya bikin tulisan ini. Padahal saya sudah bertanya ke sana ke mari, ke Perpusnas, ke Anhar Gonggong tapi tidak ke Fadli Zon, temasuk yang bersangkutan. Tapi gatot alias gagal total. Dia sepertinya sudah bertekad untuk tutup mulut. Dan kalau ada yang tahu, sepertinya sudah diancam untuk bungkam.

Karena gagal mengungkap sejarah itu, saya memulai menulis catatan ini. Menulis kegagalan.

Semula, perban yang menempel di dagunya itu, saya anggap karena dia punya perilaku agak menyimpang. Entahlah menurut orang lain. Tapi mungkin menurut orangnya sendiri normal- normal saja. Senormal orang Sumedang makan tahu atau minum air selepas makan.

Izinkan saya membeberkan perilaku menyimpangnya. Kalaupun tak diizinkan, saya akan mengizinkannya sendiri. Peduli setan, langit runtuh, bumi terbelah. Pembeberan ini perlu demi anak cucu karena terkait dengan sejarah, meski dengan metode kemungkinan.

Perban di dagunya itu, mungkin karena dia ingin menampilkan citra, bahwa perban adalah salah satu jenis hiasan. Tujuannya untuk memiliki ciri khas. Dalam hal ini saya perkirakan ia ingin meniru Rano Karno dengan tahi lalat di dagu atau Ita Purnamasari di pipi.

Mungkin dia sudah kehabisan metode untuk mencari ciri khas yang benar-benar khas. Setiap orang perlu ciri khas supaya kelihatan lain dari yang lain, supaya tidak kelihatan biasa-biasa saja. Supaya ketika orang menyebut nama Wahyu, bisa membedakan dengan wahyu-wahyu lain di dunia ini dengan bertanya, Wahyu Perban bukan?

Sebenarnya sah-sah saja seseorang memperlakukan dirinya sendiri seperti itu. Asal jangan merugikan orang lain secara fisik dan psikis. Jika ada yang dirugikan pun sebenarnya tidak apa-apa, asal sebelumnya ia telah bersepakat untuk berisiko rugi. Atau kalaupun rugi, sesekali terimalah, karena memang hidup itu demikian. Bisa mengalami rugi secara terduga atau tiba-tiba atau permanen sekalipun.

Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar