Terminal Senen. Sore cerah pada 09/12/2011. Saya sempatkan melihat-lihat buku yang sebentar lagi digulung, maksudnya toko hampir tutup karena tak mungkin mereka buka 24 jam. Lagi pula siapa yang mau beli buku tengah malam? Kecuali orang kurang kerjaan atau rada senewen.
Buku itu rupa-rupa cara penataannya. Ada yang digantung macam ikan layur. Jika tertiup angin bergoyang. Ada yang ditumpuk seperti bandeng, disandarkan seperti triplek, dan ditebar begitu saja. Juga mereka diperlakukan beda-beda, ada yang dibungkus plastik, kebanyakan telanjang. Nasibnya kadang mengenaskan, selain sudah buram dikunyah ngengat, sobek sana sini, halaman tanggal, ada nama bekas pemilik yang kemudian dicolong dan dijual, atau tanpa jilid. Maklumlah, sebagaimana manusia, mereka punya suratan berlainan.
Di deretan tengah, jika masuk dari mulut terminal, di sebelah kanan, saya mampir ke tempat langganan. Entah apa nama tokonya. Puluhan kali mampir selalu saja abai melihatnya. Ini kebiasaan buruk tak terampuni bagi seorang yang bercita-cita jadi detektif, baik yang profesional maupun partikulir.
Dengan pelayan toko ini, saya agak akrab. Kalau saya lewat depan tokonya, ia langsung menyapa dengan bahasa Sunda karena dia tahu saya berasal dari mana. Sebenarnya dia memaksakan diri, karena menurut saya bahasanya belepotan. Tapi cukup untuk modal tegur sapa dengan orang Sunda mana pun. Mungkin karena pergaulan saja dia bisa bahasa ibu saya. Bisa jadi istrinya, menantunya orang Sunda. Tidak mustahil juga ia sempat tetanggaan dengan Ajip Rosidi atau Hawe Setiawan, atau Acep Zamzam Noor. Selain itu, dia hafal buku jenis apa saja yang biasa saya beli.
Di toko ini selalu ada buku-buku yang ditebar dengan harga ditentukan. Perlu di ketahui, ke Senen, harus bermodal tekun menawar. Dan saya tak punya keahlian itu. Makanya saya memilih yang pasti-pasti saja. Sifat saya ini kurang pas untuk seorang pembeli sekaligus penjual barang jenis apa pun, kecuali terpaksa.
Di buku-buku yang ditebar, setelah saya aduk-aduk, ketemu jurnal Dangiang. Saya lupa edisinya, tapi judul besarnya adalah Menggali Kuburan Orang Sunda. Jurnal ini sebenarnuya sudah punya, tapi hilang, entah dicuri monyet mana. Mudah-mudahan segera insyaf dia, biar tidak merusak persahabatan. Kemudian novel Nur Sutan Iskandar, Neraka Dunia. Dua buku Rp 15. 00. Murah, bukan?
Kemudian si penjual menunjukkan salah satu buku. Saya pun memperhatikannya karena dia nyerocos bercerita, bahwa penulis buku itu terkenal. Ya jelas, setiap mahasiswa dan mahasiswi berikut mantan calon sarjana UIN Jakarta pasti tahu siapa Nurcholish Madjid. Jika tidak, sudah tutup saja kampus itu, bikin malu Komaruddin Hidayat saja, rektor yang menulis Psikologi Kematian yang belum pernah saya baca.
Penjual buku menambahkan, buku itu isinya bagus. Saya juga tak membantah. Tapi saya menjawab dengan gelengan kepala. “Ini buku sastra lho. Tapi sastra Islam,” begitu kira-kira ia menerangkan. Dalam menjelaskan buku itu, dia tidak menggunakan bahasa Sunda.
Saya hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Untung saya bukan anak Jurusan Sastra di universitas swasta maupun negeri. Kalau iya, sudah saya protes, apa itu sastra? Apa itu Islam? Bagaimana kalau digabung menjadi satu? Sungguh beruntung tukang buku itu.
Dia keukeuh bahwa itu wajib saya beli, seakan-akan saya sedang malaria kalau tak minum pil kina sebentar lagi mampus. Saya akhirnya menjawab, “Sekarang, saya belum membutuhkan buku seperti itu. Kapan-kapan mungkin butuh. Kecuali kalau saya Edi Tansil, buku se-Pasar Senen maunya dipindahkan ke tempat saya.”
Tentu saja, saya tak mention Edi Tansil, apalagi Akil Moctar, Gayus Tambunan dan kawan-kawan sejawatnya. Takut dikata tidak senonoh.
“Ini juga sastra, Kang!” katanya.
Kembali saya tersenyum. Ditilik sari sudut sekarang, lagi-lagi dia beruntung saya bukan sastrawan, bukan juga ahli mendebat. Dan untung pula dia tak memasukkan penulisnya sebagai salah satu daripada 33 sastrawan yang paling berpengaruh daripada Indonesia. Memang waktu itu belum terbit kok. Tim 8 juga masih adem ayem.
Karena dirasa “korbannya” mengelak terus, meski dengan geleng kepala dan senyum, ia kemudian menggunakan jurus yang saya kenali ketika kecil saat teman sepermainan tidak percaya, yaitu bersumpah. Pada saat itulah telinga saya pasang kuat-kuat, menyimak kata per kata yang akan keluar dari mulutnya.
“Demi Allah, biasanya buku ini saya jual 60 ribu. Buat si Akang mah 20 ribu saja!”
Berkat kegigihannya, dicampur sedikit rasa kasihan, Pintu-pintu Menuju Tuhan itu akhirnya jatuh ke tangan saya di sore yang cerah, di tengah derum mesin bus rongsokan Kopaja yang berangkat menuju terminal lain.
Sampai saat ini buku itu bernasib tidak mujur karena jatuh kepada pemiliki tidak terpuji; belum saya baca, padahal sudah dibubuhi tanda tangan. Ini sifat jelek yang mudah-mudahan tidak menurun kepada anak cucu saya kelak. Amin...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar