Sabtu, 29 April 2017

Ya Tuhan, Berikanlah Aku Kentut yang Bau!

Judul tulisan di atas, saya tidak tahu apakah sebuah doa atau bukan. Sampai saat ini saya belum mengadukannya kepada ustadz, anregurutta, tuan guru, kiai, ajengan, tengku, atau buya mana pun. Jika doa, tentu aku pertama kali mendengar dengan kalimat yang berisi permintaan seperti itu. Jika bukan doa, kalimat apakah itu?

Kalimat itu diucapkan istri saya ketika saya dalam keadaan lunglai karena tadi malam begadang. Kemudian dibangunkan paksa untuk urusan tertentu. Begitu urusan selesai tentu saja hasrat ingin tidur begitu merajai.

Suasana begitu, membuat saya lesu darah bukan main. Tulang-belulang yang dulu sering memikul rumput dan berjalan kaki berkilo-kilo meter seperti dilucuti semua. Dan tentu saja malas beraktivitas apa pun. Seandainya kebelet pipis pun, malas rasanya menyalurkan hasrat itu.

Timbullah persoalan yang tak diinginkan. Perut mules. Ada yang mendesak-desak hendak keluar. Setelah aku rasa-rasakan, perut hanya mengirim alarm akan mengeluarkan gas dengan cara sederhana, tak menimbulkan kegaduhan sehingga mengganggu ketertiban umum, dan tak menyertakan zat-zat lain sisa olahan percernaan.

Aku perhatikan istri saya yang sedang hamil di samping, asyik dengan ponselnya. Mungkin sedang melike status-status teman-temannya. Bisa jadi ia berkomentar pada orang yang statusnya mengaku sedang khusuk i’tikaf di masjid, padahal hakikatnya bersemedi di toilet umum sebuah terminal, yang bau pesingnya membuat perempuan hamil mana pun di dunia ini bisa lahiran seketika.  

Kenapa kentut saja ditahan? Bagitu pikirku. Bukankah pengalaman sejak aku lahir mengajarkan, sebuah kentut ditahan juga tidak akan menjadi duit dan emas batangan. Dan menahan kentut tidak mungkin lebih terhormat dari orang-orang yang sembarangan mengumbarnya. Begitulah setengah tiduran, aku mengeluarkannya dengan perlahan.

Seperti yang kuduga, angin keluar dengan baik-baik tanpa menimbulkan keributan berarti. Seperti balon yang dibuka ikatan mulutnya, seperti pentil ban motor yang dikempesin, seperti karbit yang dibaluri minyak tanah, diguyur air, seperti ya begitulah…

Beberapa detik suasana kamar kontrakan kami masih aman sentosa. Hening mendaulat kami.

Tapi kemudian, perempuan yang sedang asyik dengan ponselnya itu menggerinjal, terbangun seketika seolah pantatnya digigit semut rangrang. Ponsel hampir terlempar. Kemudian terbirit-birit menuju ruang depan seolah menyelamatkan diri dari bahaya gempa.

Dengan cekatan, dia menyalakan kipas angin listrik. Lalu membuka pintu selebar-lebarnya. Mungkin jika dinding dan atap itu pun bisa dibukanya, akan dilakukan seketika.

Sementara aku masih tiduran di kamar, menahan pernapasan sekuatnya. Dari ruang depan aku mendengar dia terengah-engah seperti orang yang baru saja lepas dari kejaran maut laknat. Sepertinya sambil mengipas-ngipas juga dengan buku.

“Allahu akbar, ieu mah ngabaruang (Allahu akbar ini menebarkan racun).”

Aku tidak tahu ia ngomong sama siapa. Mungkin sama daun pintu atau cengkeh Ternate dan tembakau dari Lombok di sekitar rak buku itu.

“Aa, tunggu pembalasanku.”

“Ada apa?”

Ngabaruang (meracun), kentut! Bau!”

“Siapa yang kentut? Hidung kamu bermasalah kali. Itu mah bawaan hamil kali. Jangan mendramatisir keadaan, ah!” kataku keluar kamar karena di dalam aku sudah tidak kuat lagi menahan napas. Suasana sangat tidak kondusif.

“Ah, teu ngaku deuih (ah, enggak mengaku lagi). Ya tuhan, berikanlah aku kentut yang bau,” katanya sambil menengadahkan tangannya ke langit-langit.

Aku hendak menimpali kalimat istriku itu. Tapi urung karena setelah dicerna, kalimat itu bermakna ganda. ‘Ya tuhan, berikanlah aku kentut yang bau’. Bukankah kalimat ini berarti dia ingin diberi kentut yang bau? Bukankah baru saja ia mendapatkannya? Kalimat itu berarti menginginkan sesuatu dari orang lain untuknya? Tapi bukankah bisa berarti, dia ingin diberi hasrat kentut pada dirinya sendiri, sebuah kentut yang bau? Soal untuk siapa, semoga untuk dirinya sendiri juga. Amin...

Jakarta, 29 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar