Saudara pasti kenal Idris Sardi, bukan? Kalau tidak, balik lagi saja ke perut ibumu. Itu lebih baik. Tapi kalau merasa tidak perlu mengetahuinya, tidak apa-apa. Idris Sardi pun tak mempermasalahkannya. Pasti. Kalau begitu, segeralah balik lagi ke dunia ini. Tapi jika betah di perut ibumu, saya tak mempermasalahkannya.
Facebook hari ini memberi tahu, bahwa pada 28 April 2014, saya mengunggah foto saya dengan Idris Sardi. Saya memosting foto itu saat mendengar kabar Idris Sardi meninggal pada tanggal yang sama di tahun itu.
Foto yang diunggah itu adalah saat saya mengobrol dengan maestro biola di Pondok Pesantren Al-Hamid, Cilangkap, Jakarta Timur, pada Oktober 2012.
Pada status itu, saya menulis demikian:
Pada waktu saya bertemu dengan Idris Sardi, saya masih belajar berwawancara. Dan sampai saat ini pun masih belajar. Saya bertemu dia dengan tidak sengaja karena tak menyangka pada acara pelantikan organisasi pencak silat, Pagar Nusa, ada seorang pemusik. Kalau pemain film lagi sih masuk akal. Misalnya Barry Prima atau paling banter George Rudy. Tapi ini maestro biola.
Saat saya datang, acara belum dimulai. Saya hanya melihat kesibukan panitia dan seorang tua berkaos oblong putih, berkacamata, bercelana kuning berkeliling di antara sela-sela kursi yang bakal diisi hadirin.
Dia berkeliling sambil menggesek-gesek biola seolah tak ada kerjaan lain. Tapi ketika saya simak, gesekannya enak sekali.
Wah, orang tua ini boleh juga.
Sepertinya saya pernah mendengarnya entah kapan, entah dimana.
“Idris Sardi,” kata panitia.
Bukan main rasanya mendengar nama itu. Nama yang pada pikiran saya selalu berada jauh di sana. Sesuatu yang hanya orang tertentu yang bisa melihatnya, apalagi mengobrolnya. Apalagi dipotret dengannya.
Kemudian bergelegak dalam diri saya, keinginan sekadar bertanya, misalnya sejak kapan ia menyukai biola, bagaimana cara berlatihnya, dan saya ingin difoto bersamanya agar bisa dipamer di Facebook.
Dengan berfoto bersamanya, bukankah martabat saya akan sedikit terangkat beberapa cm?
Saya kemudian duduk di salah satu kursi bagian belakang, menonton pentas yang belum saatnya. Tapi menurut saya ini pentas juga. Karena tak ada orang lain, justru bagi saya ini adalah pentas untuk saya sendiri.
Bayangkan seorang maestro yang dimiliki negeri ini; yang pernah diundang tiap presiden di Istana Merdeka; sekarang pentas untuk saya sendiri. Untuk saya sendiri! Bukankah itu suatu yang wah? Namun, sayang sang maestro tidak tahu, apalagi meniatkan pentas untuk saya.
Tapi itu kan masalah dia, bukan?
Jakarta 28 April 2017
Facebook hari ini memberi tahu, bahwa pada 28 April 2014, saya mengunggah foto saya dengan Idris Sardi. Saya memosting foto itu saat mendengar kabar Idris Sardi meninggal pada tanggal yang sama di tahun itu.
Foto yang diunggah itu adalah saat saya mengobrol dengan maestro biola di Pondok Pesantren Al-Hamid, Cilangkap, Jakarta Timur, pada Oktober 2012.
Pada status itu, saya menulis demikian:
Yang namanya maestro, saya pikir adanya di langit dan tak terjangkau. Ia hanya ngobrol sesama dan dengan bahasa maestro saja. Tapi pada bulan Oktober 2012 saya bisa ngobrol dengannya. Ia asyik sekali. Kemudian marah karena saya menyapanya dengan "bapak". "Jangan panggil saya bapak," katanya, "tapi bang atau bung”.
Selamat jalan Bung Idris Sardi, semoga dirimu mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT. Amin.
Pada waktu saya bertemu dengan Idris Sardi, saya masih belajar berwawancara. Dan sampai saat ini pun masih belajar. Saya bertemu dia dengan tidak sengaja karena tak menyangka pada acara pelantikan organisasi pencak silat, Pagar Nusa, ada seorang pemusik. Kalau pemain film lagi sih masuk akal. Misalnya Barry Prima atau paling banter George Rudy. Tapi ini maestro biola.
![]() |
Saya ketika wawancara dengan Idris Sardi |
Dia berkeliling sambil menggesek-gesek biola seolah tak ada kerjaan lain. Tapi ketika saya simak, gesekannya enak sekali.
Wah, orang tua ini boleh juga.
Sepertinya saya pernah mendengarnya entah kapan, entah dimana.
“Idris Sardi,” kata panitia.
Bukan main rasanya mendengar nama itu. Nama yang pada pikiran saya selalu berada jauh di sana. Sesuatu yang hanya orang tertentu yang bisa melihatnya, apalagi mengobrolnya. Apalagi dipotret dengannya.
Kemudian bergelegak dalam diri saya, keinginan sekadar bertanya, misalnya sejak kapan ia menyukai biola, bagaimana cara berlatihnya, dan saya ingin difoto bersamanya agar bisa dipamer di Facebook.
Dengan berfoto bersamanya, bukankah martabat saya akan sedikit terangkat beberapa cm?
Saya kemudian duduk di salah satu kursi bagian belakang, menonton pentas yang belum saatnya. Tapi menurut saya ini pentas juga. Karena tak ada orang lain, justru bagi saya ini adalah pentas untuk saya sendiri.
Bayangkan seorang maestro yang dimiliki negeri ini; yang pernah diundang tiap presiden di Istana Merdeka; sekarang pentas untuk saya sendiri. Untuk saya sendiri! Bukankah itu suatu yang wah? Namun, sayang sang maestro tidak tahu, apalagi meniatkan pentas untuk saya.
Tapi itu kan masalah dia, bukan?
Jakarta 28 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar