Siapa sih Ahok itu sampai-sampai juru khotbah jumat saya menyebut-nyebutnya beberapa kali. Bahkan lebih banyak menyebut namanya dibanding Allah dan Muhammad. Saya tak habis pikir kenapa bisa demikian. Apakah di zaman Nabi ada khotbah model demikian? Dia dididik jadi juru khotbah dimana?
Dia memang tidak menyebut nama Ahok secara langsung, tapi melalui dhamir atau kata ganti semisal “dia” atau “nya”. Meski demikian, tetap saja yang dimaksud adalah Ahok, bukan? Para jamaah pasti mafhum kata ganti itu mengacu kepada gubernur nonmuslim itu. Kecuali jika jamaah yang tidak tahu menahu, misalnya anak baru usia dua tahun yang turut kakek atau ayahnya. Dia sama sekali tak mendengar khotbah, malah tidur atau adu tinju dengan temannya. Atau jamaah dari sebuah desa dari Madagaskar yang kesasar di masjid itu.
Waktu itu saya mengikuti khotbah Jumat di dekat tempat tinggal saya di sebuah masjid kecil di Jakarta Pusat. Meski kecil, masjid itu bisa menampung lebih 40 orang secara berjejalan hingga ke beranda dan parkiran motor.
Setahu saya, masjid itu selalu menyewa juru khotbah dari luar. Saya tidak pernah menemukan imam sehari-hari menjadi juru khotbah di masjid itu. Entah kenapa. Mungkin pribumi lebih senang dengan barang ekspor.
Begitulah, setelah dua hari sebelumnya pencoblosan untuk memilih gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, saya mengikuti shalat Jumat di masjid itu. Juru khotbahnya berperawakan sedang. Mukanya sawo matang. Memakai baju lengan panjang. Berpeci putih. Tanpa serban. Tanpa udeng-udeng seperti Aa Gym.
Awal khotbah, ia menggunakan bahasa Arab sebagaimana umumnya juru khotbah. Kemudian ia mengajak untuk menyampaikan segala puja dan puji untuk Allah dan shalawat untuk Nabi Muhammad. Kalimat sebagaimana umumnya juru khotbah di mana pun juga.
Namun kemudian, ia mengungkapkan kalimat bernada kecewa. Apa pasal? Kok bisa gubernur lain agama bisa lolos ke putaran kedua. Bahkan jumlah pemilihnya mendekati gubernur Muslim yang mendapat urutan pertama.
Menurut dia, jumlah Muslim di Jakarta mayoritas. Sehingga bisa dipastikan gubernur nonmuslim itu banyak dipilih orang Islam. Karen itulah ia mempertanyakan dimana iman umat Islam Jakarta? Kenapa kok mau memilih pemimpin berbeda agama?
Napasnya sengal ketika ia mengucapkan kalimat-kalimat itu. Sementara jamaah tertunduk. Tak ada yang protes. Tak ada yang tepuk tangan. Mereka tak punya hak apa pun selain duduk. Entah ngantuk, entah menyimak. Kecuali yang datang belakangan. Mendengar juru khotbah, ia malah menyalakan rokok. Sungguh bajingan jamaah itu. Udah telat, malah tak memperhatikan juru khotbah yang sengal-sengal. Dia dididik dimana sih?
Sepanjang apa pun khotbah, pada akhirnya harus usai juga dengan cara-cara sudah bisa ditebak. Namun sebelumnya, ia menitip pesan agar umat Islam Jakarta, paling tidak, jamaah di masjid itu untuk memilih gubernur Muslim di putaran kedua. Masih ada kesempatan.
Karena, lanjutnya, jika yang terpilih nonmuslim, akan susah umat Islam berkomunikasi dengan pemimpinnya. Akan susah juga mengundang pada acara-acara keagamaan umat Islam. Sebab, menurutnya, kalaupun dia datang, kehadirannya bersama kemunafikannya. Sebab orang nonmuslim pasti mengingkari ajaran orang Islam. Ia akan berpura senang, padahal hatinya tidak.
Dalam hati, saya bertanya, juru khotbah semacam itu dulu belajar di pesantren atau majelis ta’lim mana sehingga lebih banyak menyebut nama yang tidak penting daripada Allah dan Nabi Muhammad. Atau memang bagi dia, Ahok lebih penting dari dua nama itu. Wallahu a’lam.
Jakarta, 17 April 2017
Dia memang tidak menyebut nama Ahok secara langsung, tapi melalui dhamir atau kata ganti semisal “dia” atau “nya”. Meski demikian, tetap saja yang dimaksud adalah Ahok, bukan? Para jamaah pasti mafhum kata ganti itu mengacu kepada gubernur nonmuslim itu. Kecuali jika jamaah yang tidak tahu menahu, misalnya anak baru usia dua tahun yang turut kakek atau ayahnya. Dia sama sekali tak mendengar khotbah, malah tidur atau adu tinju dengan temannya. Atau jamaah dari sebuah desa dari Madagaskar yang kesasar di masjid itu.
Waktu itu saya mengikuti khotbah Jumat di dekat tempat tinggal saya di sebuah masjid kecil di Jakarta Pusat. Meski kecil, masjid itu bisa menampung lebih 40 orang secara berjejalan hingga ke beranda dan parkiran motor.
Setahu saya, masjid itu selalu menyewa juru khotbah dari luar. Saya tidak pernah menemukan imam sehari-hari menjadi juru khotbah di masjid itu. Entah kenapa. Mungkin pribumi lebih senang dengan barang ekspor.
Begitulah, setelah dua hari sebelumnya pencoblosan untuk memilih gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, saya mengikuti shalat Jumat di masjid itu. Juru khotbahnya berperawakan sedang. Mukanya sawo matang. Memakai baju lengan panjang. Berpeci putih. Tanpa serban. Tanpa udeng-udeng seperti Aa Gym.
Awal khotbah, ia menggunakan bahasa Arab sebagaimana umumnya juru khotbah. Kemudian ia mengajak untuk menyampaikan segala puja dan puji untuk Allah dan shalawat untuk Nabi Muhammad. Kalimat sebagaimana umumnya juru khotbah di mana pun juga.
Namun kemudian, ia mengungkapkan kalimat bernada kecewa. Apa pasal? Kok bisa gubernur lain agama bisa lolos ke putaran kedua. Bahkan jumlah pemilihnya mendekati gubernur Muslim yang mendapat urutan pertama.
Menurut dia, jumlah Muslim di Jakarta mayoritas. Sehingga bisa dipastikan gubernur nonmuslim itu banyak dipilih orang Islam. Karen itulah ia mempertanyakan dimana iman umat Islam Jakarta? Kenapa kok mau memilih pemimpin berbeda agama?
Napasnya sengal ketika ia mengucapkan kalimat-kalimat itu. Sementara jamaah tertunduk. Tak ada yang protes. Tak ada yang tepuk tangan. Mereka tak punya hak apa pun selain duduk. Entah ngantuk, entah menyimak. Kecuali yang datang belakangan. Mendengar juru khotbah, ia malah menyalakan rokok. Sungguh bajingan jamaah itu. Udah telat, malah tak memperhatikan juru khotbah yang sengal-sengal. Dia dididik dimana sih?
Sepanjang apa pun khotbah, pada akhirnya harus usai juga dengan cara-cara sudah bisa ditebak. Namun sebelumnya, ia menitip pesan agar umat Islam Jakarta, paling tidak, jamaah di masjid itu untuk memilih gubernur Muslim di putaran kedua. Masih ada kesempatan.
Karena, lanjutnya, jika yang terpilih nonmuslim, akan susah umat Islam berkomunikasi dengan pemimpinnya. Akan susah juga mengundang pada acara-acara keagamaan umat Islam. Sebab, menurutnya, kalaupun dia datang, kehadirannya bersama kemunafikannya. Sebab orang nonmuslim pasti mengingkari ajaran orang Islam. Ia akan berpura senang, padahal hatinya tidak.
Dalam hati, saya bertanya, juru khotbah semacam itu dulu belajar di pesantren atau majelis ta’lim mana sehingga lebih banyak menyebut nama yang tidak penting daripada Allah dan Nabi Muhammad. Atau memang bagi dia, Ahok lebih penting dari dua nama itu. Wallahu a’lam.
Jakarta, 17 April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar