Minggu, 04 September 2016

Aku Menangis Karena Kitab Suci

Kematian Nining membuatku terpukul. Aku langsung pulang kampung ketika mendengar kabar memilukan itu. Perjalanan pulang terasa lambat dan menyebalkan! Padahal biasanya aku menikmati perjalanan pulang. Suasana bus, mondar-mandirnya tukang dagang asongan dan nyanyian pengamen menambah kegelisahanku. Apalagi di bus ini aku satu jok dengan laki-laki yang tak henti-hentinya merokok. Asap berseliweran menyerangku. Hendak pindah ke jok lain sudah tidak ada jok kosong. Lengkap sudah ketidaknyamananku.

Pikiranku melayang-layang pada sahabtku ini. Kenapa kau begitu cepat meninggalkanku, begitulah pertanyaan yang kusenandungkan sepanjang perjalanan.Aku masih ingat ketika pulang beberapa bulan yang lalu.

Seperti pulangku sebelumnya, malam itu Nining datang ke rumahku. Tapi waktu itu sama sekali beda dari biasanya. Dia datang dengan berderai air mata. Beberapa lama dia tak bicara dan tak bisa ditanya. Dia menangis sesenggukan. Aku biarkan saja dia menangis sepuasnya karena masih saja tak bisa ditanya. Setelah tangisannya reda, kubiarkan dia menjelaskan tangisannya.

“Aku mau dinikahkan!” katanya singkat. Kemudian air matanya bercucuran lagi.

Aku masih ragu apakah dia menangis karena akan dinikahkan atau sebab lain. Lebih baik aku menunggu dia yang menjelaskan kembali. Biarlah dia yang mengurainya. Setelah kutunggu beberapa saat, tangisannya malah semakin menjadi. Kembali aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Tak biasanya dia seperti ini.

Di sela tangisnya, dia mengatakan bahwa calon suami yang dipilihkan kedua orang tuanya adalah Mang Dasim, duda tua yang sudah bercucu. Mang Dasim adalah satu-satunya orang yang punya penggilingan padi dan mesin traktor di kampung kami. Ketika Mang Dasim melamar, langsung saja diterima kedua orang tuanya. Orang tuanya menganggap bahwa Mang Dasim adalah calon suami yang cocok karena mapan secara ekonomi meski umurnya terpaut jauh dengan Nining. Dan aku tahu bagaimana perangai kedua orang tuanya yang main paksa. Padahal aku tahu, setelah istrinya meninggal, perangai duda itu menjadi berubah, dia berkali-kali menikah kemudian tak lama menceraikan istrinya. Selain itu, yang menyebalkan adalah ulahnya yang sering menggodai gadis-gadis.

Malam itu aku dan dia memeras air mata. Mata kami bengkak kemerahan. Mengapa masih ada orang tua yang memaksa anaknya menikah dengan orang yang tidak dicintainya? Bukankah jodo, pati, bagja, cilaka, sudah ada yang mengatur? Kenapa mesti dipaksa-paksa? Begitulah kami menggugat malam yang beringsut lambat.

***

Nining adalah teman akrabku sejak kecil. Rumah kami berdekatan. Ke mana- mana aku selalu bersamanya. Saking akrabnya apabila ada Nining berarti ada aku. Mungkin karena aku anak satu-satunya sehingga dia kuanggap sebagi saudara sendiri. Kami sekolah di SD yang sama, mengerjakan PR bersama-sama dan pergi ngaji bersama-sama.

Setamat SD, kami melanjutkan di sekolah yang sama, sebuah MTS swasta di kota kecamatan karena di desa kami belum ada SLTP. Jaraknya sekitar 5 km dari kampung kami. Karena itulah hanya beberapa orang saja yang melanjutkan sekolah. Tiap hari jarak sejauh itu kami jalani bersama teman-teman dari kampung tetangga. Tiap hari kami menyusuri jalan yang masih belum beraspal seraya diteduhi rindangnya perkebunan karet. Pohon-pohon karet menjadi saksi persahabatan kami. Tiga tahun tak terasa kami lewati.

Selepas SLTP, Kami melanjutkan di sebuah SMAN yang baru dibuka yang letaknya tidak jauh dari sekolahku yang dulu. Kami menjadi murid angkatan pertama. Kebiasaan berjalan kaki sepanjang 5 km kami lanjutkan. Pada saat itu yang melanjutkan sekolah dari kampung kami hanya aku dan Nining, dan beberapa orang anak laki-laki, salah seorangnya adalah anak pak RW yang tidak begitu akrab karena dia sering memakai motor. Kebun karet yang kami akrabi itu kini diperpanjang lagi selama tiga tahun pula. Masyarakat sebenarnya menginginkan adanya angkutan umum semacam angkot angdes tetapi maksud tersebut selalu dihalang-halangi tukag ojek.

Dalam perjalanan pulang atau pergi sekolah biasanya tersemat obrolan-obrolan yang sering melupakan rasa lelah kami. Selain membicarakan masalah di sekolah, kami sering membicarakan tentang hidup, keluarga, masa depan, cita-cita, cinta, tentang apa saja. Aku dan dia pada dasarnya punya cita-cita yang sama yaitu melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi. Kami juga sepakat tak ingin seperti teman-teman yang lain yang menikah dalam usia muda kemudian berkutat dalam mengurusi anak dan suami. Perkawinan adalah cita-cita kemudian ketika segalanya telah memungkinkan. Kami tak ingin seperti teman SD kami yang kecil-kecil sudah menikah kemudian menjanda. Berdosakah seorang perempuan memiliki cita-cita? Punya kemauan untuk terus berpendidikan? Keinginan untuk menentukan diri sendiri.

Begitulah pertanyaan yang kami sematkan di antara pada pohon-pohon karet yang sedang meranggas. Apalagi di kampung kami ada pribahasa yang melemahkan perempuan seperti awewe dulang tinande atau sapi anut ka banteng. Wanita selalu mengikuti suami dalam segala urusan. Wanita perannya tak jauh dari dapur, kasur, sumur.

Ketika di akhir kelas dua, Nining mendapat tekanan dari keluarganya untuk berhenti sekolah. “Buat apa anak perempuan sekolah tinggi-tinggi kalau ujungnya nanti ke dapur juga.” Begitu alasan mereka. Tetapi aku terus mendorongnya supaya tetap bertahan. Nining adalah gadis yang sederhana dan cerdas. Nilai rapornya bagus-bagus. Tanggung kalau putus di tengah jalan. Hanya tinggal setahun lagi. Aku menjelaskan hal itu pada orang tuanya. Orang tuanya mengabulkan karena Nining juga bersikeras untuk tetap melanjutkan.

Ketika kami sama-sama lulus dari SMA, kami sebenarnya masih ingin bersama-sama melanjutkan ke perguruan tinggi. Tapi keadaan menghendaki lain.

“Aku tak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi seperti kamu,” katanya. “Kamu anak satu-satunya dan orang tuamu PNS. Masih banyak adik-adik yang mesti dibiayai orang tuaku. Aku tak ingin menjadi beban. Mungkin suatu saat aku bisa kuliah seperti kamu. Dan aku berharap aku sendiri yang mebiayainya, bukan orang tuaku. Semoga kita sama-sama sukses.”

Aku dan Nininng akhirnya berpisah. Perpisahan yang terasa ngilu. Perpisahan diakhiri dengan derai air mata. Aku melanjutkan kuliah di sebuah perguruan tinggi di ibu kota dan dia untuk sementara tinggal di desa dan berniat mencari kerja.

Dan sekarang saat aku pulang liburan semester aku mendapatkan Nining hanya tinggal namanya saja. Dia pergi untuk selama-lamanya. Padahal bagiku, Nining tidak hanya sebatas teman, tapi lebih dari saudara. Sampai saat ini aku belum bisa menemukan kawan sepertinya. Meski teman-teman baruku di kampus sangat banyak, tapi posisi Nining tak tergantikan.

Aku tambah sedih dan tersentak kaget ketika mendengar bahwa dia meninggal dengan cara yang tak wajar. Orang tuanya yang tetap memaksa untuk menikah dengan duda tua yang menurutnya sudah mapan itu membuat Nining mengambil keputusan lain. Bunuh diri! Dia nekad mengakhiri hidupnya setelah berbagai alasan yang dikemukakan Nining tak dihiraukan orang tuanya.

Kajeun paeh jadi siit, begitu kata orang tua di kampung kami menerjemahkan pilihan kematian Nining. Bagiku itu pilihan yang mungkin dan masuk akal daripada hidup menderita bersatu dengan orang yang tidak pernah dia cintai. Air mata yang dijatuhkan keluarganya tak mungkin mengembalikan gadis itu. Penyesalan yang terlambat disadari.

Menurut orang kampung, Nining sekarang disebut siit, siluman perawan yang gentayangan dalam bentuk burung. Orang-orang kampungku menakutinya. Seorang warga pernah menceritakan bahwa dia pernah mendengar di pohon randu alas ada burung yang merintih-rintih. “Si...iiiit, si.....iiit”.

Mereka bilang itu rintihan Nining.

Setelah meninggal, tidak pula hilang penderitaannya. Disebut anak durhaka kemudian jadi siit. Burung siluman yang merintih-rintih yang seolah menyuarakan penyesalannya. Sungguh penderitaan berlapis-lapis.

***

Sebelum masa liburanku habis, aku sudah berangkat kembali ke kampus. Aku tak ingin berlama-lama dirundung duka. Tetapi tetap saja kematian Nining membuat aku tak bisa tidur nyenyak. Mataku sulit dipejamkan. Rasa kantukku lenyap. Meleleh direbut malam yang merayap. Biasanya aku menatap langit-langit kamar. Tapi pikiranku melayang-layang jauh menerobos ke mana-mana. Aku semakin benci perangai Mang Dasim yang semakin menjadi setelah pernikahannya dengan Nining gagal, dia menikah lagi dengan mudah dan mungkin saja tak lama akan diceraikan.

Kemudian aku ingat tetanggaku, Bi Eem, yang masih bersabar menghadapi perangai suaminya yang sahaok kadua gaplok. Mukanya sering kelihatan lebam kebiruan dan itu dilakukan suaminya sehabis salat berjamaah di masjid. Ujung-ujungnya tetap saja bayanganku kembali ingat pada Nining.

Aku masih ingat cerita tetangga bagaimana keadaan Nining dengan lidah menjulur dan melotot sementara dari mulutnya keluar darah. Kalaupun bisa tidur, aku pasti bangun di tengah malam. Dan tentu saja setelah itu hasrat tidurku menguap entah kemana. Yang bisa kulakukan kemudian mencoba mengambil air wudlu untuk kemudian mentahajudkan jiwaku. Rakaat demi rakaat aku dirikan. Terasa dingin malam menenangkan. Kemudian telapak tangan pun aku tengadahkan. Dan doa-doa panjang aku hembuskan untuk kedua oang tua, saudara-saudara, teman, dan aku sendiri...

“Apa yang membuatmu selalu kelihatan murung dan melamun?” tanya teman sekamarku suatu ketika yang mungkin merasa aneh melihat kebiasaanku akhir-akhir ini yang sering melamun sebelum tidur.”

“Enggak ada apa-apa,” kataku terpaksa berbohong karena aku merasa belum saatnya dia mengetahuinya.

‘’Ah, jangan bohong. Ditinggal kawin sama pacar di kampung ya? Santai aja lagi! Kita bisa leluasa pilih-pilih di sini.”

Bantal yang aku pegang itu melayang ke tubuhnya. Tapi dia mengelak. Kami tertawa.

***

Aku mulai membaca kitab suci yang diterjemahkan oleh depertemen resmi negeri ini yang mengurusi masalah keagamaan yang tentunya diterjemahkan oleh para lelaki. Aku buka lembar demi lembar. Aku baca ayat demi ayat. Surat demi surat. Kemudian aku pahami terjemahnya. Begitulah malam-malam itu aku habiskan. Dan wajah Nining selalu muncul setelah beberapa malam terakhir ini dia sering menghampiriku dalam mimpi.

Bagi orang-orang dia melotot dengan lidah menjulur, tapi bagiku dia tersenyum. Senyum dari seorang yang dapat menjadi dirinya sendiri. Jalan yang dipilih sendiri. Meski dia dianggap siit, dia tetap kawanku. Berkali-kali dia hadir dalam mimpiku dalam bentuk utuh. Dalam mimpi itu kami bercakap mengurai satu per satu keinginan kami. Mengeja cita-cita. Aku menangis ketika dia hendak pergi meninggalkanku.

“Janganlah menangis! Air mata tak kan menghasilkan apa-apa. Perempuan jangan menangis! Aku menyesal menangis!” katanya dengan tenang, setenang pagi. “Lakukanlah sesuatu!” katanya sambil menyerahkan sesuatu yang menurut penglihatanku adalah kitab suci kami. Tetapi ketika aku mau mengambil benda itu, aku terbangun. sosok Nining menghilang tanpa bekas, hanya kata-kata terakhirnya masih tertinggal, menempel, menyelinap di selaput pikiranku. Ternging di telingaku, “Janganlah menangis! Air mata tak kan menghasilkan apa-apa. Permpuan jangan menangis! Aku menyesal menangis! Lakukanlah sesuatu!”

Mimpi itu menjadi pikiranku berhari-hari. Konsentrasi kuliahku pudar. Akhirnya aku memutuskan membaca segala sesuatu yang berkaitan dengan kitab suci. Aku menemukan bahwa kitab suci ini adalah suci sejak ajali. Mu’jizat terbesar. Tidak ada satu kata dan satu huruf pun yang sejak kehadiirannya yang tanggal. Dan tidak ada satu makhluk pun di dunia ini yang bisa membiikin serupa walau satu ayat pun. Tidak akan busuk dimamah waktu dan tak akan lekang sepanjang zaman. Tak boleh disentuh kecuali dalam keadaan suci. Bahkan Tuhan pun ikut turun tangan untuk menjaga kesuciannya. Kemudian aku pahami isinya dengan intens meski susah-payah. Tapi aku tidak tahu apa maksud Nining mau memberikan benda itu. Apakah baginya kitab suci itu sebagi jawaban atu sumber masalah?

Suatu malam, entah malam ke berapa ketika aku bergumul dengan kitab suci, tiba-tiba air mata menganak sungai di wajahku. Jatuh berderai membasahi pipi. Tak bisa kutahan. Dia seolah memaksa keluar menerobos. Tapi saat itulah bayangan Nining kembali hadir. Dia tersenyum. Dia seolah berkata, “Kamu masih ingat kata-kataku? Janganlah menangis! Air mata tak kan menghasilkan apa-apa. Perempuan jangan menangis! Aku menyesal menangis!”

Aku menyeka air mata yang bececeran di wajahku. Hidungku basah. Dadaku turun naik dan terasa sesak menahan tangis. “Maafkan aku Nining, maafkan. Kamu bisa memaafkan aku kan?”

Dia tersenyum.

“Ning, aku menangis karena kitab suci ini. Ning, kita tidak diajak bicara. Kitab suci tidak mengajak kita bicara. Kita hanya dijadikan orang ketiga. Kitab suci hanya berbicara pada laki-laki. Kenapa pula ayat-ayat yang ‘menindas’ kita begitu populer sementara ayat yang memerintahkan kerja sama laki-laki dan perempuan seolah tidak berdaya untuk mengemuka.”

Tapi Nining telah menghilang. Aku hanya mendapati diriku sendiri. Aku dengan pikiran-pikiran yang tiba-tiba saja hadir begitu saja di benakku tanpa bisa kuhindari. Pikiran membuat tubuhku menggigil.

“Maafkan aku Tuhan yang punya pikiran seperti ini,” bisikku dalam hati. “karena Engkau sendiri yang menciptakan akal sehingga aku berpikiran seperti ini. Tuhan, aku yakin Engkau masih mau bercakap denganku dan memafkanku jika aku terlempar dari arus yang Kau restui. Mungkin aku belum mampu memahami ayat-ayat-Mu yang agung.”

Sejak itulah aku memutuskan untuk terus mencari tahu permaslahan perempuan. Aku hadiri seminar-seminar tentang isu perempuan. Forum-forum study aku jajaki. Aku baca peran perempuan pada sejarah awal agamaku. Aku sekarang berkesimpulan, secara kesejarahan, agamaku terus menerus menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan dari tradisi sebelumnya. Kalau meneliti sejarah awal pertumbuhan, kita akan menemuukan bahwa perempuan berperan setara dengan pria. Jasanya sangat besar. Orang yang pertama percaya pada ajaran Nabi adalah seorang perempuan, Khadijah. Dananya dikerahkan untuk usaha-usaha perjuangan penyebaran risalah. Aisyah, isteri Nabi menjadi mahaguru mumpuni setelah beliau meninggal. Pemelihara naskah asli kitab suci juga seorang perempuan, Hafshah, putri Umar sekaligus isteri Nabi. Dan kesaksiannya tidak dipertanyakan. Tidak seperti dalam fiqh yang memepertanyakan kesaksian perempuan. Bukankah Tuhan tidak melihat jenis kelamin, rupa dan warna kulit seseorang, tetapi amalnya? Tuhan sering hadir dalam sifat
perempuan, rahman dan rahim. Dari rahim inilah seluruh manusia lahir.

Seandainya semua perempuan memotong rahimnya untuk tidak melanjutkan keturunan maka hilanglah manusia. Aku juga menemukan betapa kitab suci sangat menghormati perempuan. Mengangkat dari jeterpurukan. Hanya yang jadi masalah adalah penafsiran orang terdahulu sebagai dianggap sebagi sebuah kebenaran tunggal. Aku akan terus menggumuli kitab suci dan takkan menangis lagi.Kemudian aku lihat senyum Nining. Senyum yang seutuhnya. Tulus. Bening. Seperti embun. Segar, sesegar dini hari...


Sedap Malam, 13 mei 2007


Cerpen ini pernah dimuat di majalah Suara Fatayat edisi 03-September 2007


Tidak ada komentar:

Posting Komentar