Selasa, 18 April 2017

Dua Teman, Dua Kisah

Seorang teman, calon penganut perut buncit di masa depan. Ini terlihat dari struktur tubuh dan pola hidupnya. Saat ketemu, tanpa diminta, ia menceritakan aktivitasnya saat ini. Tapi sebelum itu, sebaiknya diceritakan sedikit riwayatnya. Tidak bagus-bagus amat memang masa lalunya. Dan sebetulnya sama sekali tidak perlu diceritakan.

Beberapa tahun lalu dia adalah mahasiswa di jurusan psikologi. Jika ketemu dia, coba sedikit tanya tentang Freud atau Lacan. Jika tak becus, wajar. Jika becus pun juga wajar. Tapi jangan tanya berapa perempuan yang pernah ia selami kejiwaannya, perempuan yang ia pacari.

Entah kenapa, teman yang tinggal di Tebet tersebut tak melanjutkan kuliah di jurusan itu. Mungkin ya itu tadi, dia merasa tak mampu menyelami dan memahami kejiwaan orang lain. Bahkan dirinya sendiri. Beberapa semester tak jelas juntrungannya. Kemudian ia keluar.

Lalu ia masuk jurusan sastra Indonesia di kampus yang berbeda. Di jurusan ini, dia lumayan teratur. Mata kuliah tak banyak ketinggalan. Bahkan sebentar lagi dia akan sidang skripsi. Tapi soal memahami perempuan, saya tidak tahu persis. Mungkin sudah banyak perkembangan.

Nah, ini, aktivitas dia sekarang adalah mengurusi perceraian suami istri di sebuah pengadilan agama di Jakarta. Apa hubungannya dengan mata kuliah yang pernah ia geluti bertahun-tahun itu? Mana saya tahu. Yang jelas, begitulah dia sekarang. Dengan aktivitasnya itu, ia mendapati keluhan istri yang begitu dan suami yang begini, lalu mereka mengajukan perceraian.

Menurut dia, ternyata saat ini, perceraian banyak diajukan dari pihak perempuan. Datanya sekitar 80 persen. 

Sampai di situ ceritanya. Ia tak mengambil kesimpulan, saya apalagi. Saya hanya menyarankan, ia sebagai mahasiwa jurusan sastra, tentu sedikit banyak mengetahui dan pernah mempraktikkan cara berkisah. Maka, saran saya adalah, data tersebut dicoba diolah, disajikan dengan kisah semenarik mungkin.

Sementara teman saya yang satu lagi adalah teman yang benar-benar penganut perut buncit saat ini. Bahkan mungkin akan semakin buncit di masa depan. Teman satu ini, saya tahu saat ia memiliki berat badan 47 kg. Saat ini, sekitar 85 kg.

Dan sebagaimana umumnya manusia, berat badan tak diiringi tinggi badannya. Misalnya, ketika bertambah 1 kg, bertambah tinggi pula 1 cm. Tidak. Jadi ia kelihatan gemuk dengan perut buncit.

Kenapa dia begitu buncit? Isinya tentu bukan pecahan beling atau genting. Tapi sebagaimana umumnya orang Bojonegoro, berbagai jenis makanan dan minuman.

Meski demikian, ia masih tetap berupaya bermain futsal. Entah apa maksud dan tujuannya. Yang jelas, ketika dia menggiring bola, lapangan seperti bergoncang. Jika dia mencetak gol, bukan karena dia jagoan, tapi karena lawan dan kawan menyingkir.

Nah, kawan satu ini menceritakan, beberapa bulan terakhir gelisah. Apa pasal? Dia ingin memiliki rumah. Ponsel androidnya mungkin sudah lelah menyajikan data berkali-kali tentang harga rumah di sekitar Jabodetabek. Dan selalu harganya membuat perut teman saya itu meletus.

Teman saya satu ini belum menikah. Tapi dia sudah berpikir beratus-ratus kali untuk memiliki rumah.

“Lu harus berpikir dulu menjadi anggota dewan agar bisa korupsi e-KTP,” komentar saya, “atau paling tidak, jadi koordinator pengerahan massa.”

“Buat apa rumah? Cari dulu tempat yang layak untuk sperma lu,” ungkap kawan saya, orang Tebet, yang tak lulus di jurusan psikologi, lalu pindah ke sastra Indonesia, dan saat ini mengurusi perceraian.

Jakarta, 18 April 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar