Telah banyak berita tentang pendapat pengamat, survei, obrolan warung kopi dan entah apa namanya yang membahas Pilkada DKI Jakarta. Orang luar Jakarta pun ikut nimbrung. Saya rasa semua penduduk Indonesia merasa berhak berbicara Pilkada Jakarta. Hanya Soeharto dan para almarhum yang tak membahasnya. Atau jangan-jangan juga mereka nimbrung. Cuma kita tidak tahu saja.
Kata teman saya dari Pondok Pinang, Pilkada Jakarta ongkosnya mahal. Tidak hanya persoalan uang negara, tapi persaudaraan dan hal-hal yang terkait dengan hubungannya bertetangga. Juga terkait dengan keyakinan.
Tapi dia tak bisa menghindarinya, misalnya dengan tiba-tiba pindah ke luar Jakarta, jadi penduduk di daerah pedalaman, karena rumah dan aktivitas sudah terkunci di Jakarta.
Saya tentu saja akan terlambat dan tidak punya kapasitas untuk membahas Pilkada Jakarta. Apalagi meramalkan kemenangan salah satu pasangannya. Selain saya bukan dukun, bukan pula pemilik lembaga survei. Tapi sebagai orang yang sehari-hari boker dan kencing, di Jakarta, meski tak punya hak pilih, saya merasa lebih berhak daripada orang yang tinggal di Pyongyang.
Jadi, saya tak usah mengemukakan analisis apa pun, melainkan bagaimana jika Ahok kalah? Kenapa saya tidak memilih pertanyaan bagaimana jika Anies kalah? Suatu saat mungkin saya tidak akan menjelaskannya sama sekali.
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya saya mengoreksi judul tulisan ini yang menghamburkan kata tidak perlu. Kalau sudah ada Ahok, kenapa harus ada Jakarta. Bukankah calon gubernur di Indonesia yang bernama Ahok hanya di Jakarta? Jadi, seharusnya Jakarta tidak perlu. Tapi kenapa saya mencantumkannya? Supaya ada ralat di dalam tulisan. Begitu.
Baiklah, kita kembali ke pertanyaan semula, bagaimana jika Ahok kalah di Pilkada Jakarta?
Pertanyaan saya itu bisa dijawab dengan gampang, bisa juga susah bagi orang yang kebiasaanya menyusahkan yang gampang. Hal itu dilakukan penulis dengan menuangkannya pada makalah berhalaman-halaman, pada opini di koran-koran atau kanal berita online, pada diskusi-diskusi yang panjang, yang hanya menarik bagi kedua tim sukses dan pendukungnya. Namun, meski kita sudah berpusing-pusing, ternyata tidak juga menemukan jawabannya. Bagi orang seperti itu, makin pusing, makin bagus.
Saya orangnya senang dengan yang mudah-mudah. Maka saya akan menjawab dengan mudah saja. Sangat mudah. Bahkan mudah menjawabnya kendati pertanyaan itu diajukan selepas bangun tidur yang sebelumnya saya bermimpi dikejar ribuan kantong plastik pembungkus bangkai ayam curian. Begini, jika Ahok kalah, maka Anies yang menang. Begitu juga sebaliknya.
Kata teman saya dari Pondok Pinang, Pilkada Jakarta ongkosnya mahal. Tidak hanya persoalan uang negara, tapi persaudaraan dan hal-hal yang terkait dengan hubungannya bertetangga. Juga terkait dengan keyakinan.
Tapi dia tak bisa menghindarinya, misalnya dengan tiba-tiba pindah ke luar Jakarta, jadi penduduk di daerah pedalaman, karena rumah dan aktivitas sudah terkunci di Jakarta.
Saya tentu saja akan terlambat dan tidak punya kapasitas untuk membahas Pilkada Jakarta. Apalagi meramalkan kemenangan salah satu pasangannya. Selain saya bukan dukun, bukan pula pemilik lembaga survei. Tapi sebagai orang yang sehari-hari boker dan kencing, di Jakarta, meski tak punya hak pilih, saya merasa lebih berhak daripada orang yang tinggal di Pyongyang.
Jadi, saya tak usah mengemukakan analisis apa pun, melainkan bagaimana jika Ahok kalah? Kenapa saya tidak memilih pertanyaan bagaimana jika Anies kalah? Suatu saat mungkin saya tidak akan menjelaskannya sama sekali.
Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada baiknya saya mengoreksi judul tulisan ini yang menghamburkan kata tidak perlu. Kalau sudah ada Ahok, kenapa harus ada Jakarta. Bukankah calon gubernur di Indonesia yang bernama Ahok hanya di Jakarta? Jadi, seharusnya Jakarta tidak perlu. Tapi kenapa saya mencantumkannya? Supaya ada ralat di dalam tulisan. Begitu.
Baiklah, kita kembali ke pertanyaan semula, bagaimana jika Ahok kalah di Pilkada Jakarta?
Pertanyaan saya itu bisa dijawab dengan gampang, bisa juga susah bagi orang yang kebiasaanya menyusahkan yang gampang. Hal itu dilakukan penulis dengan menuangkannya pada makalah berhalaman-halaman, pada opini di koran-koran atau kanal berita online, pada diskusi-diskusi yang panjang, yang hanya menarik bagi kedua tim sukses dan pendukungnya. Namun, meski kita sudah berpusing-pusing, ternyata tidak juga menemukan jawabannya. Bagi orang seperti itu, makin pusing, makin bagus.
Saya orangnya senang dengan yang mudah-mudah. Maka saya akan menjawab dengan mudah saja. Sangat mudah. Bahkan mudah menjawabnya kendati pertanyaan itu diajukan selepas bangun tidur yang sebelumnya saya bermimpi dikejar ribuan kantong plastik pembungkus bangkai ayam curian. Begini, jika Ahok kalah, maka Anies yang menang. Begitu juga sebaliknya.
Jakarta, April 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar