Dik...aku pinta/Kau akan selalu setia/Dik...aku mohon/Kau selalu menemani/Saatku tengah terluka/Kalaku tengah gundah...
Begitulah suara seoarang anak jalanan yang ngamen pada sebuah angkot. Tak hanya anak itu, di antara teman saya sesekali menyanyikannya. Juga, kalau Anda berjalan-jalan di kaki lima, akan mendengar nyanyian serupa dari penjaja CD baik. Soal CD-nya bajakan atau orisinal, itu bukan urusan saya. Mereka demam Wali! Siapa Wali? Wali Songo yang terkenal dengan gelar sunan-sunan itu?
Kalau Anda berjalan-jalan di Pesanggerahan dan nongkrong di warung kopi atau warung nasi, Anda akan menemukan poster lima anak muda yang menamakan diri: Wali. Nama tersebut merujuk pada nama sebuah band baru. Konon, personilnya terdiri dari anak-anak muda yang masih berstatus mahasiswa di sebuah kampus di bilangan Ciputat.
Wali ikut meramaikan belantika musik tanah air. Lagu-lagunya mulai dikenal dan cenderung diterima, paling tidak anak jalanan di muka tulisan ini. Penerimaan ini tentu saja memiliki alasan masing-masing. Ada yang merasa disuarakan perasaan hatinya yang selama ini susah untuk disuarakan. Ada yang suka karena merasa teman dekat personil-personil Wali. Ada juga yang suka, tapi tidak kenal dengan personilnya. Suka tak mesti kenal, bukan? Ada juga yang kenal, tapi tak suka. Dan jenis suka dan tak suka lain yang tak mungkin saya absen satu per satu.
Dalam sebuah tayangan live yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta, vokalis Wali ditanya Eko Patrio perihal nama band-nya. Sang vokalis menjawab: ”Wali, kalau lihat di kamus, berarti wakil. Mudah-mudahan lagu-lagu Wali ”mewakili” seluruh pencinta musik di seluruh Indonesia.”
Tepuk tangan penonton pun langsung menggema menyambut ucapannya.
Lalu, pertanyaannya sekarang adalah, mungkinkah lagu-lagu Wali bisa ”mewakili” pencinta musik di seluruh Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mengajukan pertanyaan lain. Mungkinkah telinga semua orang Indonesia sama?
Sebelum menjawab dua pertanyaan ini, saya akan bercerita sedikit mengenai Indonesia. Konon, negara ini adalah negara-bangsa yang majemuk. Wilayahnya membentang luas dari Sabang hingga Merauke yang terdiri dari beribu-ribu pulau. Di dalamnya, hidup penduduk 200 juta jiwa lebih yang terdiri dari berbagai macam etnis. Mereka mempunyai bahasa, kebiasaan, kepercayaan, cita-rasa yang beragam.
Barangkali di antara mereka ada juga yang memiliki gangguan telinga sehingga tidak bisa medengar dan menikmati suara apa pun.
Kalau demikian, mungkinkah harapan Wali sebagai ”wali” bagi seluruh Indonesia bisa tercapai? Bagi saya, harapan Wali melalui sang vokalis tersebut, tiada bedanya dengan salah satu iklan perusahaan telekomunikasi. Di iklan itu diceritakan bahwa jaringan sistem telekomunikasinya paling baik sehingga dari Sabang sampai Merauke menggunakan jasanya.
Hal ini dilakukan pula oleh Indomie dengan slogan ”Indomie, Seleraku”.
Iklan berfungsi untuk memperkenalkan dan membujuk supaya konsumen tertarik pada sebuah produk. Biasanya menggunakan kata-kata atau gambar yang unik, menarik dan lain dari yang lain. Mengklaim menjadi ”terbaik” dan ”mewakili” semuanya seolah-olah produk lainnya terbuat dari sampah saja.
Jadi, bertanya apakah semua telinga orang Indonesia menyukai Wali, sama saja dengan mengatakan lidah semua orang Indonesia menyukai Indomie.
Meski baru menetaskan satu album, nama Wali langsung melejit. Itu tentu saja melewati perjuangan bertahun-tahun yang ”berdarah-darah”.
Sebagai seorang yang punya telinga, dan bisa mendengar, saya angkat topi buat Wali. Semoga terus awet berkarya dan banyak digemari. Bravo buat Wali!
Semanggi, 26 Juni 2008
Begitulah suara seoarang anak jalanan yang ngamen pada sebuah angkot. Tak hanya anak itu, di antara teman saya sesekali menyanyikannya. Juga, kalau Anda berjalan-jalan di kaki lima, akan mendengar nyanyian serupa dari penjaja CD baik. Soal CD-nya bajakan atau orisinal, itu bukan urusan saya. Mereka demam Wali! Siapa Wali? Wali Songo yang terkenal dengan gelar sunan-sunan itu?
Kalau Anda berjalan-jalan di Pesanggerahan dan nongkrong di warung kopi atau warung nasi, Anda akan menemukan poster lima anak muda yang menamakan diri: Wali. Nama tersebut merujuk pada nama sebuah band baru. Konon, personilnya terdiri dari anak-anak muda yang masih berstatus mahasiswa di sebuah kampus di bilangan Ciputat.
Wali ikut meramaikan belantika musik tanah air. Lagu-lagunya mulai dikenal dan cenderung diterima, paling tidak anak jalanan di muka tulisan ini. Penerimaan ini tentu saja memiliki alasan masing-masing. Ada yang merasa disuarakan perasaan hatinya yang selama ini susah untuk disuarakan. Ada yang suka karena merasa teman dekat personil-personil Wali. Ada juga yang suka, tapi tidak kenal dengan personilnya. Suka tak mesti kenal, bukan? Ada juga yang kenal, tapi tak suka. Dan jenis suka dan tak suka lain yang tak mungkin saya absen satu per satu.
Dalam sebuah tayangan live yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta, vokalis Wali ditanya Eko Patrio perihal nama band-nya. Sang vokalis menjawab: ”Wali, kalau lihat di kamus, berarti wakil. Mudah-mudahan lagu-lagu Wali ”mewakili” seluruh pencinta musik di seluruh Indonesia.”
Tepuk tangan penonton pun langsung menggema menyambut ucapannya.
Lalu, pertanyaannya sekarang adalah, mungkinkah lagu-lagu Wali bisa ”mewakili” pencinta musik di seluruh Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mengajukan pertanyaan lain. Mungkinkah telinga semua orang Indonesia sama?
Sebelum menjawab dua pertanyaan ini, saya akan bercerita sedikit mengenai Indonesia. Konon, negara ini adalah negara-bangsa yang majemuk. Wilayahnya membentang luas dari Sabang hingga Merauke yang terdiri dari beribu-ribu pulau. Di dalamnya, hidup penduduk 200 juta jiwa lebih yang terdiri dari berbagai macam etnis. Mereka mempunyai bahasa, kebiasaan, kepercayaan, cita-rasa yang beragam.
Barangkali di antara mereka ada juga yang memiliki gangguan telinga sehingga tidak bisa medengar dan menikmati suara apa pun.
Kalau demikian, mungkinkah harapan Wali sebagai ”wali” bagi seluruh Indonesia bisa tercapai? Bagi saya, harapan Wali melalui sang vokalis tersebut, tiada bedanya dengan salah satu iklan perusahaan telekomunikasi. Di iklan itu diceritakan bahwa jaringan sistem telekomunikasinya paling baik sehingga dari Sabang sampai Merauke menggunakan jasanya.
Hal ini dilakukan pula oleh Indomie dengan slogan ”Indomie, Seleraku”.
Iklan berfungsi untuk memperkenalkan dan membujuk supaya konsumen tertarik pada sebuah produk. Biasanya menggunakan kata-kata atau gambar yang unik, menarik dan lain dari yang lain. Mengklaim menjadi ”terbaik” dan ”mewakili” semuanya seolah-olah produk lainnya terbuat dari sampah saja.
Jadi, bertanya apakah semua telinga orang Indonesia menyukai Wali, sama saja dengan mengatakan lidah semua orang Indonesia menyukai Indomie.
Meski baru menetaskan satu album, nama Wali langsung melejit. Itu tentu saja melewati perjuangan bertahun-tahun yang ”berdarah-darah”.
Sebagai seorang yang punya telinga, dan bisa mendengar, saya angkat topi buat Wali. Semoga terus awet berkarya dan banyak digemari. Bravo buat Wali!
Semanggi, 26 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar