Jumat, 02 September 2016

Sutan Takdir Alisjahbana via Ajip Rosidi

Semacam Intro

Tulisan ini adalah pembacaan singkat atas tulisan Ajip Rosidi yang berjudul “Membaca Kembali Polemik Kebudayaan”, yaitu tanggapannya terhadap pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana (STA) dalam peristiwa "Polemik Kebudayaan" yang terjadi di awal terbentuknya Republik ini.

Pembaca bisa menilai betapa tidak lengkapnya tulisan ini karena masalah sumber asli itu belum didapat. Jadi, tulisan ini adalah tafsir atas tafsir. Bacaan terhadap orang yang membaca. Begitulah, seperti yang disesalkan Ajip, generasi muda sekarang sudah kehilangan sumber pada buku yang merekam peristiwa yang penting tersebut.

Polemik Kebudayaan

Konon, para bapak bangsa republik ini pernah memikirkan kemana arah bangsa ini. Terjadilah silang sengketa pendapat di antara mereka. Peristiwa itu disebut "Polemik Kebudayaan".

Hampir saja peristiwa yang penting ini terlewatkan jika tidak didokumentasikan Achdiat Karta Mihardja dalam bentuk buku yang berjudul “Polemik Kebudayaan”. Buku itu berisi tentang masalah Timur dan Barat, tentang Kebudayaan, kesenian nasional dan lain-lain.

Mereka yang ikut berpolemik adalah STA di satu pihak dan Soetomo, Ki Hadjar Dewantara, Sanusi Pane, Adinegoro, M. Amir, Poerbatjaraka, Tjindarboemi di pihak lain.

Sekilas Pemikiran STA

Dalam pemikirannya, STA memisahkan secara tegas antara kebudayaan pra-Indonesia dengan Indonesia. Kebudayaan pra-Indonesia yang dimaksud adalah kebudayaan daerah seperti Jawa, Sunda, Bali, Melayu, dll. Sedangkan kebudayaan Indonesia seharusnya mengikuti kebudayaan Barat.

STA menilai bahwa kebudayaan pra-Indonesia bersifat statis, sedangkan Barat bersifat dinamis dan modern.“Di dalam kungkungan adat..., jiwa orang seorang tidak mungkin berkembang dengan bebas. Dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, dari abad ke abad orang hidup persis menurutkan saluran-saluran adat yang berlaku turun-temurun. Pikiran tidak mungkin kritis, perasaan tidak mungkin berkembang menurut kodrat kepribadiannya.”

Karena itulah dia menghakimi sistem pendidikan pesantren yang telah ratusan tahun berkembang di Nusantara. Ia menulis:“Semangat persatuan yang berpusat pada kiai dan pesantrenlah yang menyebabkan jatuhnya bangsa kita...”

Pada tahun 67-an, STA pernah menulis dalam kata pengantar bukunya demikian,“...bagimana pentingnya kedudukan seri karangan ini di sisi seri karangan saya dalam Panji Pustaka dalam usaha memberi pukulan maut kepada syair dan pantun lama...”

Dari pemikirannya, kita dapat melihat bahwa STA adalah orang yang silau melihat kebudayaan Barat. Karena itu, bangsa kita harus mengikutinya.Tapi benarkah kebudayaan Barat cocok dengan bangsa kita yang berbeda sejarah, geogarafis dan modal sosial penduduknya? Bukankah dalam setiap kebudayaan itu ada kekurangan dan kelebihannya, termasuk Barat?

Di sini STA tidak adil dalam menilai. Dia melihat kecacatan dari kebudayaan pra-Indonesia dan hanya memperlihatkan kehebatan-kehebatan kebudayaan Barat karena barangkali terlanjur mengaguminya. Dia lupa bahwa di masa pra-Indonesia pernah ada yang menghasilkan Borobudur, juga abai terhadap pemikiran-pemikiran seperti Ronggowarsito dari Jawa, Haji Hasan Mustopa dari Sunda yang dikagumi orang Barat yang dikagumi STA.

STA Pemenang?

Waktu berpolemik, STA berumur 27 tahun. Dengan jernih mengemukakan pendapat-pendapatnya. Menurut Ajip, polemik itu bisa dikatakan STA-lah sebagai ‘pemenang’ karena dia dapat memukul rubuh lawan-lawannya. Padahal pemikirannya kadang masih mentah dan tidak tepat sasaran.

Pemikiran STA sangat berpengaruh kepada kaum muda selanjutnya. Zuber Usman, budayawan Melayu pernah mengatakan bahwa pantun Melayu menjadi ‘sepi’ setelah diberi “pukulan maut’ oleh STA.

Selamat buat STA yang telah berhasil atas usahanya untuk menjadi Barat dan menghabisi kebudayaan leluhurnya!


Ciputat, September 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar