Sabtu, 03 September 2016

Kebebasan Berbahasa atau Salah Lafal?

Waktu menjadi murid SD, terasa menyebalkan jika menghadapi hari Senin. Seolah memulai hidup baru berojol dari liang garba ibu, liburan, lalu harus menghadapi hal yang serius bukan main. Biasa, ritual hari Senin! Upacara bendera! Amanat pembina upacara! Disiplin. Terus diputar berlang-ulang oleh kepala sekolah atau dewan guru. Kadang dengan bahasa berbeda, tapi dengan isi yang persis sama.

Aku jelas tak bisa mengelak dari putaran itu.

Suatu Senin, hujan deras. Saking derasnya, upacara bendera tidak dilakukan. Wali kelasku, yang memang tinggal di lain desa, tidak datang. Saat itulah kami berkerumun ngobrolin film (dengan lafal pilem) Jaka Gledek yang ditonton di layar tancap malam Minggu.

Firman, salah seorang temanku memperagakan gerakan-gerakan silat Jaka Gledek ketika merubuhkan musuh-musuhnya. Gerakan-gerakannya gesit. Tak heran karena dia murid silat Mang Juhana, ahli silat di kampungku. Memang waktu itu kami sering belajar silat aliran Cikalong sehingga gerakan dalam film silat mudah ditiru oleh teman-teman.

Tapi satu hal yang unik, pemeran Jaka Gledek, George Rudy, dilafalkan Gege Rudi oleh teman-teman. Salah Lafal? Teman-temanku tidak ada yang bernama George karena orang tua kami (pasti) tak sempat memikirkannya. Jangankan dijadikan nama, dilafalkan pun sulit. Tetapi karena George adalah Jaka Gledek, mau tak mau kami berusaha melafalkannya. Sebisa kami. Tapi bagaimana? Akhirnya, kami sepakat kata "George" dilapalkan "Gege".

Hal serupa terjadi pada orang tua-orang tua kami. Mereka melafal “traktor” jadi “laktor”, “presiden” jadi “persiden”, “kalkulasi” jadi “kolasi”, dll. Mereka gunakan lafal itu dalam obrolan sehari-hari ketika di warung kopi atau di forum pertemuan warga.

Ketika di SLTP, aku ceritakan pelafalan orang-orang di kampungku kepada guru bahasa Indonesia. Dia menjawab: “Salah lafal!” Kemudian dia menunjukkan kata asal dan cara melafalnya. Aku tercengang. Hampir tidak bisa menerima keterangannya karena terbiasa dengan lidah kami. Tapi mau tak mau aku menerima karena pak guru lebih terpelajar di antara kami.

Lidah Kita Memang Berbeda

Jika membuka kamus atau Ensiklopedi Sunda, susah ditemukan huruf “F”. Tak heran, jika semua huruf “F” yang mampir di lidah orang Sunda menjadi “P”. Dalam kasus lain, orang Jawa sering melafal akhiran “kan” dengan “ken’’ (semoga ingat Soeharto!). Orang Batak susah melapal “er” dalam bunyi komput”er”. Orang Barat juga tak jauh berbeda. Ibnu Rusyd dilafal dan ditulis Averroes, Ibnu Sina jadi Avicena. Mereka melokalkan nama-nama yang berasal dari luar bahasanya.

Tapi sayang, waktu itu, guru bahasa Indonesia tidak memberi contoh lidah orang Barat yang sama juga melafalkan kata dari bahasa lain tidak sesuai dengan aslinya.


Sedap Malam, 22 April 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar