Jumat, 02 September 2016

Tahi

Aku berlari melewati rumah-rumah, sawah-sawah, jalan-jalan, belokan-belokan, tiang-tiang listrik, tiang-tiang telepon, jembatan-jembatan, pohon-pohon, batu-batu, kerikil-kerikil, beling-beling, sampah-sampah, pasar-pasar kumuh, gedung-gedung, malam-malam, kunang-kunang, hari-hari, gelap-gelap, cinta, rindu, luka, sepi, pedih, kegagalan, air mata, kemudian aku capek.

Aku lelah. Aku lunglai. Napasku sengal-sengal dan hampir habis. Aku kehilangan energi. Aku lapar. Perutku melolong minta disi. Kepalaku penat. Bersumbat-sumbat. Tubuhku gemetar. Badanku terasa lengket bercampur keringat sengak yang hampir mengendap bercampur daki. Bajuku lembab. Rambutku acak. Mukaku pucat. Tubuhku gerah minta diangini.

Aku sampai di rumah. Dan langsung mencari makanan di dapur, di meja makan, di wadah-wadah, tapi tak secuil pun. Aku mencari minum di kulkas, di teko, di ceret, tapi tak seteguk pun. Kerongkonganku kering tercekik. Ludahku kental dan basi.

Aku harus beli makan dan minum. Kucari uang di saku-saku celana dan bajuku, di dompet, di laci, di tumpukan baju di lemari, di bawah kasur kamarku, tak sepeser pun, tak seuang pun. Aku melolong, tapi tak sesuara pun.

Kepalaku tegang. Tubuhku lemah. Aku lemparkan tubuhku ke sofa penuh debu. Aku lucuti bajuku kemudian merebahkan tubuhku. Tapi gerahku tak enyah pula. Aku buka celanaku. Masih gerah.

Udara ruangan tak sudi kiranya mengangini seonggok tubuhku. Selintas kulihat kamar mandi. Sontak saja aku meloncat hampir setengah melayang. Aku ingin mengguyur tubuhku. Kubiarkan pintu kamar mandi menganga.

Dan oh…di kloset itu. Ada tahi! Tahi yang utuh ditinggalkan pemiliknya. Sejurus kemudian aku hanya tercenung menunda hasrat mandiku. Aku hanya memandangi benda kuning kehitaman bercampur hijau kusam itu. Menurutku benda itu belum lama ditinggalkan karena masih ada uapnya tipis-tipis yang mengudara menghantarkan aromanya ke hidungku.

Siapan syetan yang berak di kloset rumahku? Perempuankah? Laki-lakikah? Wariakah? Anak-anakkah? Orang tuakah? Tahi berjenis kelamin? Entah! Sejauh ini aku belum pernah meneliti apakah setiap orang memiliki tahi yang sama. Tahiku sendiri saja tidak tahu persisnya apalagi ini made in orang lain.

Entahlah yang jelas ada tahi yang ditinggalkan pemiliknya begitu saja dan aku tak bisa menentukan siapa. Tapi kenapa dia meninggalkannya begitu saja? Ada yang menyelinap beronggok-onggok menggelitik tempurung kepalaku tentang kemungkinan-kemungkinan tahi itu.

Pertama, kenapa pemilik tahi itu meninggalkannya begitu saja? Aku tak bisa menentukannya. Tapi aku berhipotesa seperti ini. Kedua, apakah dia lupa menyiramnya kemudian cebok dan kemudian pergi? Kalau alasannya tidak ada gayung dan air, itu tak masuk akal karena air begitu melimpah di bak dan gayung itu mengapung di permukaannya yang tenang.

Ketiga, apakah orang itu kebelet dan mengeluarkannya di kloset, kemudian karena satu hal yang begitu gawat, dia tak sempat menyiram dan cebok kemudian terburu-buru pergi. Aku tidak bisa menentukannya.

Keempat, apakah dia dengan sengaja tidak menyiramnya karena nanti juga kalau ada orang yang mau berak pasti disiramnya sebelum dia berak? Aku tak bisa menentukannya.

Kelima, apakah dia sudah terbiasa sejak kecil tidak menyiram sehabis berak karena ada orang yang bertugas khusus yang terbiasa menyiramnya. Aku tak bisa menentukannya.

Keenam, Apakah dia dengan maksud lelucon melakukan itu –berak tidak disiram- sambil tertawa ngakak lalu cebok kemudian pergi tak ingat-ingat lagi akan yang ditingglkannya? Aku tak bisa menentukannya.

Atau ada pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak sempat dan tak pernah terpikirkan karena sedikitnya pengetahuanku tentang itu. Aku tak ada teman untuk membicarakannya dan mendiskusikannya untuk kemudian menyimpulkannya. Yang jelas sekarang adalah, aku tidak bisa menentukannya. Titik!

Tiba-tiba perutku yang lapar melolong lagi. Cacing-cacing di perutku menubruk-nubruk lambungku. Perhatianku pada tahi itu sempat melupakan lapar dan gerahku. Tiba-tiba aroma tahi itu memenuhi setiap lipatan udara yang menggantung di kamar mandi. Aku tatap masih benda itu dengan perasaan menolak atas sebentuk hasrat yang tiba-tiba saja dan tak pernah kupikirkan dan kubayangkan sebelumnya.

Tetapi aku tak mampu dan tak mungkin menolaknya. Aku lapar yang tak terperikan. Orang dalam lapar hampir tak mampu berpikir jernih. Bukan otak yang berpikir, tapi cacing perut! Aku menatap benda itu antara ya dan tidak. Air liurku tanpa kuinginkan meleleh seperti anjing meihat daging segar. Hampir di luar kesadaranku aku mendekati benda itu dan jongkok di dekatnya. Aku julurkan tanganku ke lubang kloset dan meraba benda itu.

Oh…masih hangat! Aku mengambil hampir separuhnya kemudian menimang-nimngnya sebentar dan kemudian aku masukkan ke mulutku, mengunyah-ngunyah, meras-rasakannya kemudian melemparkannya ke perut, ke cacing-cacing yang sudah kerempeng.

Oh…makanan sempurna hasil pengolahan sempurna. Bergizi tinggi kayaknya. Segala zat makanan yang diperlukan tubuh ada kiranya. Dengan warna yang menggoda. Dengan bentuk alami hasil pengolahan dan percetakan bukan mesin besi baja. Rasa yang tidak pernah kubayangkan dan kupikirkan sebelumnya. Air liurku berlelehan lagi setelah semuanya disapu bersih terjun ke perutku. Perut dan lidahku ketagihan. Hasratku minta lagi. Kemudian aku ambil lagi barang bergizi yang tinggal separuh itu. Kemudian aku masukkan lagi ke mulutku. Aku kunyah-kunyah dengan tidak repot. Benda itu seperti tepung yang diendapkan. Orang yang tidak bergigi pun bisa mengunyahnya.

Oh…rasa yang tak pernah kupikirkan dan kubayangkan sebelumnya. Kenikmatan yang pertama kali kurasakan. Kemudian ada yang merasuk mengoyak pikiranku. Mereka menampakkan dirinya, depan belakangnya, atas bawahnya, dalam dan luarnya, ke muka pikiranku.

Aku heran kenapa orang-orang seingatku menganggap tahi sebagai benda yang menjijikan, jorok, menyebalkan dan label-label lain yang dilekatkannya. Semua orang hampir sepakat tanpa masing-masing pernah mencicipinya untuk kemudian merasakannya. Semua orang taklid buta. Tidak ada yang berijtiad lagi dan menggali perihal tahi karena itu terlarang. Orang makan tahi akan dianggap gila, tidak normal dan harus disingkirkan! Semua orang harus (di)sama(kan)!

Aku Cuma berpikir seperti ini, jangan-jangan orang yang menganggap tahi itu jorok, menjijikan, menyebalkan, dan tidak menyehatkan, tanpa pernah mereka mncobanya sama sekali karena menganggap bahwa yang menyenanginya gila dan tidak normal adalah justru orang yang tidak normal. Rasakan dulu sebelum memberi label apa pun! Jangan ikut-ikutan! Peduli syetan akan semua itu. Yang penting tahi nikmat, sehat, dan lezat. Selesai! Cuma sekarang aku tahu kalau lapar tinggal berak saja di piring. Tahi adalah makanan dan makanan adalah tahi. Jadi bolak-balik keluar masuk-keluar. Cuma beda nama saja.

Aku kenyang sekarang. Tubuhku tidak gerah lagi. Agak segaran malah. Aku jadi mengurungkan niatku untuk mandi. Mendingan aku tidur saja. Aku kemudian keluar dari kamar mandi penuh pencerahan itu. Ternyata pencerahan tidak hanya didapat di masjid, ceramah-ceramah, atau buku. Tidak. Toilet pun adalah sumber ilham.


Cilulumpang, 25 Maret 2005


Tidak ada komentar:

Posting Komentar