1
“Utun, Inji, mangka ati-ati! Ceuli ulah sok sadenge-dengena ari lain dengeeunana. Panon ulah sok satenjo-tenjona, ari lain tenjoeunana.Sungut ulah saomong-omongna, ari lain omongkeunana. Suku ulah satingcak-tingcakna, ari lain tingcakeunana. Leungeun ulah sacokot-cokotna, lamun lain cokoteunana. Irung ulah sok saambeu-ambeuna ari lain ambeueuna.”
Kalimat-kalimat ini dilafalkan seorang peraji di kampung saya saat bayi dari seorang ibu lahir. Kemudian dia melafal kalimat-kalimat lain untuk mengusir makhluk halus pengganggu bayi. Setelah ayah si bayi iqamah di telinga kiri, azan di telinga kanan, ia melanjutkan mengurusi bayi berdasarkan juklak keperajian.
Maksud dari kalimat-kalimat di atas adalah, “Utun, Inji, berhati-hatilah! Telinga jangan mendengar sesuatu yang tidak boleh didengar. Mata jangan melihat sesuatu yang tidak boleh dilihat. Mulut jangan berbicara sesuatu yang tidak boleh dibicarakan. Kaki jangan menginjak sesuatu yang tidak boleh diinjak. Tangan jangan mengambil sesuatu yang tidak boleh diambil. Hidung jangan mencium sesuatu yang tidak boleh dicium.”
2
Cala cili banyu mili. Bumi aku tunggang kapal. Tumpak kapal jeung gegelu. Sakapal jeung Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam. Banyu suci badan suka. Suka suci badan sampurna. Sampurna ku kersaning Allah... Laa ilaha illallah...
Kalimat-kalimat ini dialafalkan ibu teman saya saat menjemur gabah basah yang baru dipanen. Saya tidak paham kalimat-kalimat tersebut. Ketika saya menanyakannya, dia juga tidak paham. Sama-sama tak paham.
“Tidak perlu paham,” katanya, “emak gunakan saja. Ini warisan dari karuhun (leluhur).”
Dia juga tidak menuliskannya dalam buku.
“Buat apa ditulis? Karuhun juga tidak menuliskannya.”
Meski demikian, ada dua kalimat yang menarik bagi saya, mungkin tidak menarik bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kalimat tersebut, ”sakapal jeung Nabi Muhammad” dan “sampurna ku kersaning Allah.”
Ternyata lafal itu mengaku satu kapal dengan Nabi Muhammad dan kesempurnaan di tangan Allah.
3
Di Sunda, kalimat-kalimat semacam itu disebut jangjawokan atau mantera. Konon, jangjawokan itu ada yang bersifat negatif dan positif. Jangjawokan negatif, biasanya digunakan untuk mencelakai sesuatu atau seseorang. Sedangkan yang positif, seperti dua jangjawokan di atas.
Namun kadang orang tidak adil memandang jangjawokan. Semua dinilai negatif. Label-label pun ditempelkan bagi pemiliknya: ahli bidah, syirik, animisme, dinamisme, kolot, dan lain lain.
Jangan heran, karena mereka menilai diawali prasangka dan kerangka berpikir tertentu. Akhirnya antipati bukan apresiasi. Padahal dalam jangjawokan pertama di atas, misalnya, ada pesan-pesan penting untuk bekal si bayi di masa depan. Saya tidak tahu apakah bidan lulusan perguruan tinggi “terhormat”, dengan biaya “superdahsyat” memiliki pesan demikian.
Dalam jangjawokan kedua, kalimat itu mengaku satu kapal dengan Nabi Muhammad, kesempurnaan di tangan Allah. Saya tidak tahu, kalimat mana yang membuat kalimat tersebut dihakimi musyrik dan bidah bagi pembaca atau pelakunya? Apakah karena kalimat tersebut dalam bahasa Sunda? Kalau itu persoalannya, bukankah Allah Maha Segala Bahasa?
Sukabumi, 2008
“Utun, Inji, mangka ati-ati! Ceuli ulah sok sadenge-dengena ari lain dengeeunana. Panon ulah sok satenjo-tenjona, ari lain tenjoeunana.Sungut ulah saomong-omongna, ari lain omongkeunana. Suku ulah satingcak-tingcakna, ari lain tingcakeunana. Leungeun ulah sacokot-cokotna, lamun lain cokoteunana. Irung ulah sok saambeu-ambeuna ari lain ambeueuna.”
Kalimat-kalimat ini dilafalkan seorang peraji di kampung saya saat bayi dari seorang ibu lahir. Kemudian dia melafal kalimat-kalimat lain untuk mengusir makhluk halus pengganggu bayi. Setelah ayah si bayi iqamah di telinga kiri, azan di telinga kanan, ia melanjutkan mengurusi bayi berdasarkan juklak keperajian.
Maksud dari kalimat-kalimat di atas adalah, “Utun, Inji, berhati-hatilah! Telinga jangan mendengar sesuatu yang tidak boleh didengar. Mata jangan melihat sesuatu yang tidak boleh dilihat. Mulut jangan berbicara sesuatu yang tidak boleh dibicarakan. Kaki jangan menginjak sesuatu yang tidak boleh diinjak. Tangan jangan mengambil sesuatu yang tidak boleh diambil. Hidung jangan mencium sesuatu yang tidak boleh dicium.”
2
Cala cili banyu mili. Bumi aku tunggang kapal. Tumpak kapal jeung gegelu. Sakapal jeung Nabi Muhammad Salallahu Alaihi Wassalam. Banyu suci badan suka. Suka suci badan sampurna. Sampurna ku kersaning Allah... Laa ilaha illallah...
Kalimat-kalimat ini dialafalkan ibu teman saya saat menjemur gabah basah yang baru dipanen. Saya tidak paham kalimat-kalimat tersebut. Ketika saya menanyakannya, dia juga tidak paham. Sama-sama tak paham.
“Tidak perlu paham,” katanya, “emak gunakan saja. Ini warisan dari karuhun (leluhur).”
Dia juga tidak menuliskannya dalam buku.
“Buat apa ditulis? Karuhun juga tidak menuliskannya.”
Meski demikian, ada dua kalimat yang menarik bagi saya, mungkin tidak menarik bagi Menteri Keuangan Sri Mulyani. Kalimat tersebut, ”sakapal jeung Nabi Muhammad” dan “sampurna ku kersaning Allah.”
Ternyata lafal itu mengaku satu kapal dengan Nabi Muhammad dan kesempurnaan di tangan Allah.
3
Di Sunda, kalimat-kalimat semacam itu disebut jangjawokan atau mantera. Konon, jangjawokan itu ada yang bersifat negatif dan positif. Jangjawokan negatif, biasanya digunakan untuk mencelakai sesuatu atau seseorang. Sedangkan yang positif, seperti dua jangjawokan di atas.
Namun kadang orang tidak adil memandang jangjawokan. Semua dinilai negatif. Label-label pun ditempelkan bagi pemiliknya: ahli bidah, syirik, animisme, dinamisme, kolot, dan lain lain.
Jangan heran, karena mereka menilai diawali prasangka dan kerangka berpikir tertentu. Akhirnya antipati bukan apresiasi. Padahal dalam jangjawokan pertama di atas, misalnya, ada pesan-pesan penting untuk bekal si bayi di masa depan. Saya tidak tahu apakah bidan lulusan perguruan tinggi “terhormat”, dengan biaya “superdahsyat” memiliki pesan demikian.
Dalam jangjawokan kedua, kalimat itu mengaku satu kapal dengan Nabi Muhammad, kesempurnaan di tangan Allah. Saya tidak tahu, kalimat mana yang membuat kalimat tersebut dihakimi musyrik dan bidah bagi pembaca atau pelakunya? Apakah karena kalimat tersebut dalam bahasa Sunda? Kalau itu persoalannya, bukankah Allah Maha Segala Bahasa?
Sukabumi, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar