Ya nabi salam alaika/Ya rasul salam alaika/Ya habib salam alaika/Shalawatullah alaika... Syair ini mengingatkan pada kenduri marhabaan atau mahinum di kampung saya. Marhabaan atau mahinum adalah selamatan atas 40 hari kelahiran bayi. Bait ini dilantunkan saat bayi dicukur oleh peserta kenduri. Bait-bait ini pula dibaca saat memulai peringatan maulid Nabi dan pupujian santri sebelum shalat berjamaah.
Tapi kini saya mendengarnya dalam sebuah bus jurusan Sukabumi-Ciputat. Pelantunnya pun tidak memakai peci, sorban, dan memegang tasbih, melainkan memakai kupluk, kaos oblong, celana jeans bolong. Di tangannya ada tato kalajengking dan telinga kirinya beranting.
Asyraqal badru alaina/Fahtafat minhul buduru/Mislahusnik ma raina/Qatu ya wajha sururi...
Lantunannya berpadu dengan lengkingan mesin bus dan teriakan kondektur; Putat...Putat...Putat...
Sambil menikmati alunan shalawat itu, saya termanung. Berbagai pertanyaan menampakkan diri di benak: kenapa pengamen itu menyanyikan shalawat Nabi? Bukankah di dunia ini begitu banyak lagu yang indah dari yang lama hinggga terbaru? Kenapa dia tidak menyanyikan lagu “Mungkin Nanti” Peterpan, “Munajat Cinta” The Rock atau “Begadang II” Rhoma Irama?
Di sini bukanlah masjid, madrasah, majlis taklim atau podium dakwah. Tak satu pun yang memakai peci atau kerudung. Apa yang diimajinasikan pengamen tentang shalawat Nabi itu?
Ya nabi salam alaika/Ya rasul salam alaika/Ya habib salam alaika/Shalawatullah alaika...
Karena tak bisa menjawab pertanyaan tersebut, saya merogoh saku celana. Ada uang lembaran. Tapi jari ini malah mengambil logam.
Sukabumi-Ciputat, 2008
Tapi kini saya mendengarnya dalam sebuah bus jurusan Sukabumi-Ciputat. Pelantunnya pun tidak memakai peci, sorban, dan memegang tasbih, melainkan memakai kupluk, kaos oblong, celana jeans bolong. Di tangannya ada tato kalajengking dan telinga kirinya beranting.
Asyraqal badru alaina/Fahtafat minhul buduru/Mislahusnik ma raina/Qatu ya wajha sururi...
Lantunannya berpadu dengan lengkingan mesin bus dan teriakan kondektur; Putat...Putat...Putat...
Sambil menikmati alunan shalawat itu, saya termanung. Berbagai pertanyaan menampakkan diri di benak: kenapa pengamen itu menyanyikan shalawat Nabi? Bukankah di dunia ini begitu banyak lagu yang indah dari yang lama hinggga terbaru? Kenapa dia tidak menyanyikan lagu “Mungkin Nanti” Peterpan, “Munajat Cinta” The Rock atau “Begadang II” Rhoma Irama?
Di sini bukanlah masjid, madrasah, majlis taklim atau podium dakwah. Tak satu pun yang memakai peci atau kerudung. Apa yang diimajinasikan pengamen tentang shalawat Nabi itu?
Ya nabi salam alaika/Ya rasul salam alaika/Ya habib salam alaika/Shalawatullah alaika...
Karena tak bisa menjawab pertanyaan tersebut, saya merogoh saku celana. Ada uang lembaran. Tapi jari ini malah mengambil logam.
Sukabumi-Ciputat, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar