Jumat, 02 September 2016

Membakar Kemenyan untuk Radio

Orang yang berusia di atas 80 tahun, di kampung saya tinggal beberapa orang lagi. Mereka adalah sejarawan, setidaknya untuk kampung saya. Tapi sayangnya di antara mereka, sudah ada yang sulit berkomunikasi karena pendengarannya berkurang, matanya tak awas, atau pikun.

Adalah Ki Biom, salah seorang sejarawan itu. Dia lahir tahun 30-an. Tubuhnya pendek dan sudah membungkuk. Tapi ingatannya masih kuat. Kepada sejarawan ini, saya bertanya banyak hal tentang kampung saya: asal-usul nama kampung, tentang kebiasaan, kepercayaan, dll.

Saya juga bertanya tentang kapan, siapa pemilik pertama, dari penanda-penanda moderinitas yang nyelonong di kampung saya. Mulai obat warung, pasta gigi, radio, tivi, huller, traktor, layar tancap, motor, dan mobil. Luar biasa! Dia bisa merawat ingatan itu.

Masyarakat selalu merespon penanda-penanda yang datang dari luar. Timbullah kretivitas-kretivitas yang tak terbayangkan oleh para pencipta penanda-penanda tersebut. Yang paling berkesan adalah respon Ki Piong terhadap radio.

Ki Piong adalah orang pertama yang memiliki radio sekira tahun 70-an. Dia membelinya dengan menjual seekor kerbau. Gengsi Ki Piong semakin tegas menjadi orang kaya. Dia menjadi buah bibir orang sekampung. Anak kecil, orang tua, laki-laki-perempuan tersedot untuk melihatnya. Seperti laron mengitari lentera. Mereka “lalajo” radio!

Suatu ketika, radio itu bermasalah. Maklum, radio second. Ketika dinyalakan, hanya terdengar gemuruh gelombang radio. Mungkin ada kabel atau perangkat lain yang tak beres. Padahal orang-orang sudah berkumpul hendak “lalajo” wayang golek dalang Cecep Supriyadi. Karena belum ada tukang servis radio, semua tak bisa berbuat apa-apa.

Namun Ki Piong tak ingin mengecewakan penontonnya. Dia pergi ke kamarnya, mengambil sesuatu. Kemudian dia bersila di hadapan radio itu sambil membakar kemenyan. Mulutnya komat-kamit melapal sesuatu. Asap meliuk-liuk mengitari radio. Sementara tangannya menggoyang-goyangkan benda itu. Luar biasa! Benda itu berbunyi kembali. Penonoton bersuka cita.

Penyimpangan?

Kata “lalajo”, dalam bahasa Sunda adalah jenis kata kerja yang berarti melihat, atau menonton. Kata tersebut biasa digunakan untuk misalnya, lalajo wayang golek, gendang pencak, reog, atau jaipongan, dll.

Pendek kata, “lalajo” digunakan untuk kerja melihat sesuatu yang bersifat visual atau gambar. Menggunakan kata “lalajo” untuk mendengar tentu saja keluar dari kaidah bahasa Sunda. Tapi masyarakat punya hak tak tergugat untuk menggunakan bahasa, bukan diatur ahli-ahli bahasa.

Begitu pula membakar kemenyan untuk radio. C. Marcone tentu tak membayangkan bahwa, di suatu tempat, suatu waktu ada yang merespon hasil karayanya dengan cara seperti itu. Demikianlah sebuah karya akan ditafsir berbeda tergantung siapa mendekati. Tak ada otoritas yang berhak untuk menghakimi. Termasuk si penciptanya.


Sukabumi 2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar