Sehabis shalat maghrib, di masjid kampung saya, partisipan tidak langsung pulang. Mereka membaca wiridan dipimpin sang imam. Sebagai ahli masbuk, saya baru selesai ketika wiridan sampai pada “Laa ilaha illallah ..., Laa ilaha illallah ..., Laa ilaha illallah ....”
Di sela-sela gemuruh bacaan itu, saya mendengar lafal yang berbeda. Terpencil memang. Hanya sendirian. Tapi entah kenapa, suara itu jelas di telinga saya. Beberapa saat hanya menyimak suara itu yang terdengar...“Ya iyaha iyoyoh..., ya iyaha iyoyoh..., ya iyaha iyoyoh...”,
Lafal itulah yang saya dengar. Kemudian bukannya khusuk wiridan, malah mencari sumber suara itu. “Ya iyaha iyoyoh..., ya iyaha iyoyoh..., ya iyaha iyoyoh...”
Oh, anak berusia 3 tahun itu rupanya. Dia bersila di samping kakeknya yang sudah membungkuk. Kepalanya bergerak ke kiri ke kanan mengikuti jemaah lain. Tapi kadang ketinggalan, kadang terlalu cepat.
“Ya iyaha iyoyoh..., ya iyaha iyoyoh..., ya iyaha iyoyoh...”
Tiba-tiba, ini tiba-tiba saja saya bergumam dalam hati, “mungkin lafal tersebut yang disenangi Tuhan maghrib ini.”
Sukabumi, 2008
Di sela-sela gemuruh bacaan itu, saya mendengar lafal yang berbeda. Terpencil memang. Hanya sendirian. Tapi entah kenapa, suara itu jelas di telinga saya. Beberapa saat hanya menyimak suara itu yang terdengar...“Ya iyaha iyoyoh..., ya iyaha iyoyoh..., ya iyaha iyoyoh...”,
Lafal itulah yang saya dengar. Kemudian bukannya khusuk wiridan, malah mencari sumber suara itu. “Ya iyaha iyoyoh..., ya iyaha iyoyoh..., ya iyaha iyoyoh...”
Oh, anak berusia 3 tahun itu rupanya. Dia bersila di samping kakeknya yang sudah membungkuk. Kepalanya bergerak ke kiri ke kanan mengikuti jemaah lain. Tapi kadang ketinggalan, kadang terlalu cepat.
“Ya iyaha iyoyoh..., ya iyaha iyoyoh..., ya iyaha iyoyoh...”
Tiba-tiba, ini tiba-tiba saja saya bergumam dalam hati, “mungkin lafal tersebut yang disenangi Tuhan maghrib ini.”
Sukabumi, 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar