Sewaktu menjadi murid MAN Cibadak, terasa menyenangkan jika saya menghadapi hari Sabtu. Selain belajar tidak terlalu aktif, besoknya hari libur. Untuk menikmati akhir pekan, biasanya saya bersama teman-teman sering berkunjung ke rumah salah seorang. Seolah arisan, kami membikin jadwal sembarang.
Begitu pula Sabtu itu. Selepas lohor, kebetulan guru pelajaran terakhir tidak ada, Anak-anak kelas 3 bahasa II memanfaatkan situasi ini sebaik-baiknya. Pulang tanpa rasa beban. Sedangkan kami berlima, sepakat ke rumah teman yang berada di Cipuntang. Teman yang satu ini memiliki beberapa kolam ikan nila. Nanti malam rencananya akan ngaliwet di saung pinggir kolam sambil kongkow ngobrol ngalor-ngidul. Ngobrol apa saja. Kadang tersemat ketawa-ketiwi yang lepas-tandas. Hidup terasa plong setelah seminggu berkutat dengan bahasa-bahasa asing. Beginilah cara kami menikmati kebersamaan yang cuma sejengkal lagi.
Supaya ongkos murah, kami menunggu bus arah kota Sukabumi di perapatan Cikidang. Harga murah memang membutuhkan kesabaran dan keuletan, bus tak muncul-muncul. Tapi kami tetap menunggu.
“Aing moal jadi milu, ah,” kata A.
“Kunaon sia teh?” kata B.
“Aing hayang ngising…,” jawab A.
“Ah, aya-aya wae sia mah. Minggu kamari teu jadi basa ulin ka si C. Ayeuna teu jadi deui…” kata B lagi, setengah marah.
“Heueuh…” kata C.
“Tungguan heula atuh aing rek toilet heula,” kata A.
“Is…, ulah! Kaburu datang busna. Hese deui engke mah,” kata D tegas.
“Heueuh. Lila deui nungguan,” E menambahkan.
“Kumaha atuh ari aing hayang ngising? Maenya ngising dina bus?” tanya A.
“Tahan we, tahan…!” kata C.
“Heueuh…! Diukkun we, engke ge bakal ngelok... ha..ha..ha…” katanya sambil tertawa. Yang lain pun ikut tertawa berjamaah. Entah termasuk protototipe makhluk apa, kami tertawa melihat orang menderita.
“Mending mun aya jok kosong,” kata A.
“Pasti aya!” jawab B memestikan.
A terdiam karena dia tidak bisa melawan suara empat orang temannya.
“Sing inget, engke urang ngaliwet jeung beuleum nila di saung …”
“Moal lila, aing ka toilet sakola heula.”
"Ulah! Tuh busna geus aya,” kata E sambil menunjuk bus, si raja jalanan.
“Tahan we, tahan…!”
E mencegat bus dengan mengacungkan tangan kanannya. Melihat ada mangsa kecil berseragam, raja jalanan itu melambat. Suara rem berdecit keras menahan laju ban yang bergesek kuat dengan aspal.
Cess….sssyyah….
Bus sebenarnya tak berhenti dengan sempurna, tapi kami langsung meloncat telatabis (turukal-terekel dina bis). Meski ragu-ragu, A meloncat juga.
Sesampai di dalam, dia celingukan mencari jok kosong. Tapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, jok terisi semua. A gelisah. Dia merasa terperangkap; maju kena mundur kena. Tapi mau apa lagi selain bertahan. Pikirannya menganalisis sebab apa perutnya ngadat seperti ini. Dia ingat beberapa hari tidak BAB. Semantara tadi pagi tak sempat sarapan. Mungkin masuk angin. Pikirannya kembali terganggu ketika isi perutnya mendesak-desak hendak keluar. Dengan sekuat tenaga dia menahannya. Matanya terpejam. Tubuhnya mulai berkeringat.
Untuk sementara dia berhasil menjinakkan tenaga dalam itu. Hanya menghasilkan gas beracun yang keluar perlahan tanpa suara. Baunya semerbak. Namun cuma sebentar karena langsung menyatu dengan angin kencang yang menderu lewat jendela bus yang ternganga. Hanya sekilas dalam penciuman penumpang. Beberapa kali dia menggunakan jurus itu.
“Aing eureun heula di cibadak. Engke nyusul pandeuri,” kata A.“Ulah. Hese deui nungguan. Diukkeun we,” jawab B.
“Diuk dimana belegug, nyaho eueweuh jok kosong…” kata A kesal.
“Di terminal Cibadak atawa di Labora pasti aya penumpang nu turun.”
A kembali menuruti kata-kata B seolah dijinakkan mantera sakti sang pawang. Ternyata betul beberapa penumpang turun di terminal. A sedikit merasa lega. Posisi duduk membantu menahan desakan dalam perutnya. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran jok. Mencoba tidur, melupakan ketidakberesan perutnya. Tapi suasana demikian gerah. Dua kancing baju bagian atas dibukanya. Kemudian membuka jendela bus. Udara masuk mengipasi tubuhnya.
Cibadak adalah Cibadak. Macet! Angkot-angkot menaik-turunkan penumpang di keramaian pasar. Kadang parkir sembarang. Pejalan kaki dan penyebrang jalan lewat dimana saja. Raja jalanan yang kami tumpangi hanya berjalan kura-kura.
Setelah lepas dari Cibadak, raja jalanan kembali melompat garang. Tiang listrik dan telepon, pepohonan, rumah-rumah seolah berlari menjauh. Sekarwangi, Karang Tengah terlewati.
A duduk tenang di joknya. Tapi ketika mendekati Cikukulu, perutnya mulai bereaksi lagi. Lebih kuat lagi dari sebelumnya. Tenaganya seolah berkumpul. A mulai berjuang lagi. Dia memejamkan mata seolah sedang melakukan yoga. Napas diatur. Seluruh konsentrasi dan berat tubuhnya dikumpulkan. Kemudian disatukan pada satu titik: menutup lubang pantatnya. Untuk sementara berhasil. Dua butir tetes air jatuh dari matanya.
Kami ketawa melihat tindak-tanduknya.
“Siap-siap turun euy,” kata C. Tapi A masih memejamkan matanya seolah pertapa yang mengabaikan dunia luar.
“Hei… tereh nepi,” kata C lagi sambil menjawil pundak A. Sementara dia masih terdiam. Seandainya dia berdiri, lepaslah kekuatannya.
D sudah medekati kondektur dan memberitahu berhenti di Cibaraja. Tapi kami pusing karena A masih belum bisa bangun dari bertapa.
“Hei.. enggeus nepi. Hayu turun…!”
A membuka matanya.
“Aing geus teu kuat. Bisa kababayan yeuh?” kata A memelas.
“Tahan… sakeudeung deui! Urang ka toilet mushala.”
Sekarang kami merasa kasihan setalah sepanjang jalan menertawakannya. E membawakan tas A. B menuntun tangannya. Sementara D dan C sudah turun. Penumpang lain memperhatikan kami. Tapi kami tak mempedulikannya.
Setelah turun, muka A seolah menangis. Desakan di perutnya muncul hebat sekali.
“Mana toilet?” tanyanya hampir tak terdengar.
“Hayu!” kata B berlari sambil menarik tangannya. A pun berlari. Tapi akibatnya desakan perutnya hampir nongol, rem hampir blong. Secepat kilat dia menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Dia duduk berselonjor kaki. Kontan kami ketawa bercampur kasihan. Tukang ojek dan orang-orang di gang itu hanya colohok melihat tingkah laku kami.
“Dasar setan sia mah..., aing ripuh oge…” umpat A.
Cibadak, 2003
Begitu pula Sabtu itu. Selepas lohor, kebetulan guru pelajaran terakhir tidak ada, Anak-anak kelas 3 bahasa II memanfaatkan situasi ini sebaik-baiknya. Pulang tanpa rasa beban. Sedangkan kami berlima, sepakat ke rumah teman yang berada di Cipuntang. Teman yang satu ini memiliki beberapa kolam ikan nila. Nanti malam rencananya akan ngaliwet di saung pinggir kolam sambil kongkow ngobrol ngalor-ngidul. Ngobrol apa saja. Kadang tersemat ketawa-ketiwi yang lepas-tandas. Hidup terasa plong setelah seminggu berkutat dengan bahasa-bahasa asing. Beginilah cara kami menikmati kebersamaan yang cuma sejengkal lagi.
Supaya ongkos murah, kami menunggu bus arah kota Sukabumi di perapatan Cikidang. Harga murah memang membutuhkan kesabaran dan keuletan, bus tak muncul-muncul. Tapi kami tetap menunggu.
“Aing moal jadi milu, ah,” kata A.
“Kunaon sia teh?” kata B.
“Aing hayang ngising…,” jawab A.
“Ah, aya-aya wae sia mah. Minggu kamari teu jadi basa ulin ka si C. Ayeuna teu jadi deui…” kata B lagi, setengah marah.
“Heueuh…” kata C.
“Tungguan heula atuh aing rek toilet heula,” kata A.
“Is…, ulah! Kaburu datang busna. Hese deui engke mah,” kata D tegas.
“Heueuh. Lila deui nungguan,” E menambahkan.
“Kumaha atuh ari aing hayang ngising? Maenya ngising dina bus?” tanya A.
“Tahan we, tahan…!” kata C.
“Heueuh…! Diukkun we, engke ge bakal ngelok... ha..ha..ha…” katanya sambil tertawa. Yang lain pun ikut tertawa berjamaah. Entah termasuk protototipe makhluk apa, kami tertawa melihat orang menderita.
“Mending mun aya jok kosong,” kata A.
“Pasti aya!” jawab B memestikan.
A terdiam karena dia tidak bisa melawan suara empat orang temannya.
“Sing inget, engke urang ngaliwet jeung beuleum nila di saung …”
“Moal lila, aing ka toilet sakola heula.”
"Ulah! Tuh busna geus aya,” kata E sambil menunjuk bus, si raja jalanan.
“Tahan we, tahan…!”
E mencegat bus dengan mengacungkan tangan kanannya. Melihat ada mangsa kecil berseragam, raja jalanan itu melambat. Suara rem berdecit keras menahan laju ban yang bergesek kuat dengan aspal.
Cess….sssyyah….
Bus sebenarnya tak berhenti dengan sempurna, tapi kami langsung meloncat telatabis (turukal-terekel dina bis). Meski ragu-ragu, A meloncat juga.
Sesampai di dalam, dia celingukan mencari jok kosong. Tapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, jok terisi semua. A gelisah. Dia merasa terperangkap; maju kena mundur kena. Tapi mau apa lagi selain bertahan. Pikirannya menganalisis sebab apa perutnya ngadat seperti ini. Dia ingat beberapa hari tidak BAB. Semantara tadi pagi tak sempat sarapan. Mungkin masuk angin. Pikirannya kembali terganggu ketika isi perutnya mendesak-desak hendak keluar. Dengan sekuat tenaga dia menahannya. Matanya terpejam. Tubuhnya mulai berkeringat.
Untuk sementara dia berhasil menjinakkan tenaga dalam itu. Hanya menghasilkan gas beracun yang keluar perlahan tanpa suara. Baunya semerbak. Namun cuma sebentar karena langsung menyatu dengan angin kencang yang menderu lewat jendela bus yang ternganga. Hanya sekilas dalam penciuman penumpang. Beberapa kali dia menggunakan jurus itu.
“Aing eureun heula di cibadak. Engke nyusul pandeuri,” kata A.“Ulah. Hese deui nungguan. Diukkeun we,” jawab B.
“Diuk dimana belegug, nyaho eueweuh jok kosong…” kata A kesal.
“Di terminal Cibadak atawa di Labora pasti aya penumpang nu turun.”
A kembali menuruti kata-kata B seolah dijinakkan mantera sakti sang pawang. Ternyata betul beberapa penumpang turun di terminal. A sedikit merasa lega. Posisi duduk membantu menahan desakan dalam perutnya. Dia menyandarkan punggungnya ke sandaran jok. Mencoba tidur, melupakan ketidakberesan perutnya. Tapi suasana demikian gerah. Dua kancing baju bagian atas dibukanya. Kemudian membuka jendela bus. Udara masuk mengipasi tubuhnya.
Cibadak adalah Cibadak. Macet! Angkot-angkot menaik-turunkan penumpang di keramaian pasar. Kadang parkir sembarang. Pejalan kaki dan penyebrang jalan lewat dimana saja. Raja jalanan yang kami tumpangi hanya berjalan kura-kura.
Setelah lepas dari Cibadak, raja jalanan kembali melompat garang. Tiang listrik dan telepon, pepohonan, rumah-rumah seolah berlari menjauh. Sekarwangi, Karang Tengah terlewati.
A duduk tenang di joknya. Tapi ketika mendekati Cikukulu, perutnya mulai bereaksi lagi. Lebih kuat lagi dari sebelumnya. Tenaganya seolah berkumpul. A mulai berjuang lagi. Dia memejamkan mata seolah sedang melakukan yoga. Napas diatur. Seluruh konsentrasi dan berat tubuhnya dikumpulkan. Kemudian disatukan pada satu titik: menutup lubang pantatnya. Untuk sementara berhasil. Dua butir tetes air jatuh dari matanya.
Kami ketawa melihat tindak-tanduknya.
“Siap-siap turun euy,” kata C. Tapi A masih memejamkan matanya seolah pertapa yang mengabaikan dunia luar.
“Hei… tereh nepi,” kata C lagi sambil menjawil pundak A. Sementara dia masih terdiam. Seandainya dia berdiri, lepaslah kekuatannya.
D sudah medekati kondektur dan memberitahu berhenti di Cibaraja. Tapi kami pusing karena A masih belum bisa bangun dari bertapa.
“Hei.. enggeus nepi. Hayu turun…!”
A membuka matanya.
“Aing geus teu kuat. Bisa kababayan yeuh?” kata A memelas.
“Tahan… sakeudeung deui! Urang ka toilet mushala.”
Sekarang kami merasa kasihan setalah sepanjang jalan menertawakannya. E membawakan tas A. B menuntun tangannya. Sementara D dan C sudah turun. Penumpang lain memperhatikan kami. Tapi kami tak mempedulikannya.
Setelah turun, muka A seolah menangis. Desakan di perutnya muncul hebat sekali.
“Mana toilet?” tanyanya hampir tak terdengar.
“Hayu!” kata B berlari sambil menarik tangannya. A pun berlari. Tapi akibatnya desakan perutnya hampir nongol, rem hampir blong. Secepat kilat dia menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Dia duduk berselonjor kaki. Kontan kami ketawa bercampur kasihan. Tukang ojek dan orang-orang di gang itu hanya colohok melihat tingkah laku kami.
“Dasar setan sia mah..., aing ripuh oge…” umpat A.
Cibadak, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar