Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...Puji sinareng syukur urang panjatkeun ka hadirat Allah swt salawat sinareng salamna urang sanggakeun ka kangjeng Nabi Muhammad SAW, nabi akhir zaman.
(Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...puji dan syukur hanya untuk Allah, shalawat dan salam untuk Nabi Muhamad, Nabi akhir zaman)
Itulah pembukaan ngaleseng (pidato, ceramah) salah seorang murid Madrasah Diniyyah Awaliyyah Miftahul Aulad kampung Cilulumpang kabupaten Sukabumi pada acara samenan (kenaikan kelas) tahun pelajaran 2008-2009.
Kemudian anak itu melanjutkan ucapan-ucapannya dengan lancar. Kadang mengutip ayat-ayat al-Quran, diselipi Hadits Nabi atau syair Arab dan qaul ulama. Hampir selama 15 menit dia berdiri di atas panggung. Tangannya sesekali pepeta. Kadang hadirin tepuk tangan jika keluar guyonan atau tidak bermaksud guyon, tapi kesalahan.
Barangkali suatu saat nanti dia adalah orator ulung yang membakar.
Saya jadi ingat beberapa tahun silam, ketika jadi murid madrasah ini. Waktu samenan, setiap murid dianjurkan tampil di panggung. Mulai dari pupujian yang dinyanyaikan beberapa orang, qari dengan sari tilawah, atau drama. Tapi yang paling diminati adalah ngaleseng karena tinggal menghafal naskah.
Wali kelas kami yang membuat teks lesengan di secarik kertas. Teks itu kami bawa saat sekolah di SD, mengaji di malam hari, atau bermain di kali Cicatih. Menghafal di batu di tengah-tengah kali. Berminggu-minggu teks itu dibawa kemana-mana hingga kelihatan lecek. Tapi untungnya sudah hafal di luar kepala.
Waktu samenan tiba. Kasidah Nasida Ria berulang-ulang diputar atau suara emasnya Muammar ZA dan Chumaidi. Tukang dagang pun datang mengais rezeki. Mulai dari tukang dagang makanan hingga mainan. Biasanya kami dianjurkan memakai baju putih, celana hitam dan kopiah hitam. Satu per satu kami naik ke panggung yang sederhana; menggunakan tiang bambu yang dibungkus kertas, alasnya kayu-kayu kusen yang dipinjam dari tetangga dan atap terpal tempat menjemur padi. Sementara pinggirnya ditutup daun kelapa.
Betapa tak mudahnya bicara di atas paggung. Apalagi di hadapan banyak orang. Mulut terasa kaku. Kata-kata yang sudah di luar kepala begitu susah dilafalkan. Tubuh terasa gemetar. Keringat dingin mengalir deras. Kaki dan tangan terasa kesemutan. Dan, mikropon terasa berat sekali. Jika tak bisa menjinakan perasaan-perasaan itu, bisa terjadi micung (demam panggung).
Setiap samenan pasti saja ada yang micung karena tidak sungguh-sungguh menghafal atau benar-benar demam panggung. Anak yang micung biasanya terdiam atau mengulang eu....eu....eu.... (semoga ingat Moerdiono) atau diam tertunduk dengan muka memerah.
Pembawa acara yang biasanya guru kami, sering memberi tahu dari belakang. Tapi jika terlanjur lupa dan panik, dia menggunakan jurus terakhir dengan kata, “tah sakitu ge cekap, ditutup wae ku assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...” (dicukupkan sekian, wassalamualaiku warahmatullahi wabarakatuh) kemudian berlari dari panggung mencari tempat gelap.
Penonton pun bersorak... huh...huh...
Sebagai alumni, ada beberapa hal yang saya kagumi dari madrasah ini. Pertama, pembayaran SPP menggunakan beras. Sejak zaman saya hingga sekarang masih 1 liter setengah. Konon, pernah diganti dengan uang, tapi macet. Kemudian kembali menggunakan beras karena rata-rata wali kelas adalah para petani.
Kedua, saat acara samenan, setiap siswa dikasih (ompreng). Kami makan bareng bersama teman-teman dengan suasana gembira. Ketiga, mulai mendekati budaya setempat; yaitu melakukan parade diiringi kendang pencak (tahun 2008).
Hal ini berawal dari madrasah kampung sebalah mengundang drum band dari kota. Madrasah ini pun ingin parade, tapi biaya tak cukup. Dewan guru tak kehabisan akal. Mereka mengundang para nayaga kendang pencak di kampung kami yang sudah tidak pernah manggung lagi (karena sudah tidak diminati). Mereka menerima undangan itu dengan senang meski hanya diimbal makan.
“Tah sakitu ge cekap wasalamualaiku warahmatullahi wabarkatuh....” Gejlig...Tewewew...Ganti...
Cilulumpang, Sukabumi 4 Juli 2009
(Asalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...puji dan syukur hanya untuk Allah, shalawat dan salam untuk Nabi Muhamad, Nabi akhir zaman)
Itulah pembukaan ngaleseng (pidato, ceramah) salah seorang murid Madrasah Diniyyah Awaliyyah Miftahul Aulad kampung Cilulumpang kabupaten Sukabumi pada acara samenan (kenaikan kelas) tahun pelajaran 2008-2009.
Kemudian anak itu melanjutkan ucapan-ucapannya dengan lancar. Kadang mengutip ayat-ayat al-Quran, diselipi Hadits Nabi atau syair Arab dan qaul ulama. Hampir selama 15 menit dia berdiri di atas panggung. Tangannya sesekali pepeta. Kadang hadirin tepuk tangan jika keluar guyonan atau tidak bermaksud guyon, tapi kesalahan.
Barangkali suatu saat nanti dia adalah orator ulung yang membakar.
Saya jadi ingat beberapa tahun silam, ketika jadi murid madrasah ini. Waktu samenan, setiap murid dianjurkan tampil di panggung. Mulai dari pupujian yang dinyanyaikan beberapa orang, qari dengan sari tilawah, atau drama. Tapi yang paling diminati adalah ngaleseng karena tinggal menghafal naskah.
Wali kelas kami yang membuat teks lesengan di secarik kertas. Teks itu kami bawa saat sekolah di SD, mengaji di malam hari, atau bermain di kali Cicatih. Menghafal di batu di tengah-tengah kali. Berminggu-minggu teks itu dibawa kemana-mana hingga kelihatan lecek. Tapi untungnya sudah hafal di luar kepala.
Waktu samenan tiba. Kasidah Nasida Ria berulang-ulang diputar atau suara emasnya Muammar ZA dan Chumaidi. Tukang dagang pun datang mengais rezeki. Mulai dari tukang dagang makanan hingga mainan. Biasanya kami dianjurkan memakai baju putih, celana hitam dan kopiah hitam. Satu per satu kami naik ke panggung yang sederhana; menggunakan tiang bambu yang dibungkus kertas, alasnya kayu-kayu kusen yang dipinjam dari tetangga dan atap terpal tempat menjemur padi. Sementara pinggirnya ditutup daun kelapa.
Betapa tak mudahnya bicara di atas paggung. Apalagi di hadapan banyak orang. Mulut terasa kaku. Kata-kata yang sudah di luar kepala begitu susah dilafalkan. Tubuh terasa gemetar. Keringat dingin mengalir deras. Kaki dan tangan terasa kesemutan. Dan, mikropon terasa berat sekali. Jika tak bisa menjinakan perasaan-perasaan itu, bisa terjadi micung (demam panggung).
Setiap samenan pasti saja ada yang micung karena tidak sungguh-sungguh menghafal atau benar-benar demam panggung. Anak yang micung biasanya terdiam atau mengulang eu....eu....eu.... (semoga ingat Moerdiono) atau diam tertunduk dengan muka memerah.
Pembawa acara yang biasanya guru kami, sering memberi tahu dari belakang. Tapi jika terlanjur lupa dan panik, dia menggunakan jurus terakhir dengan kata, “tah sakitu ge cekap, ditutup wae ku assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh...” (dicukupkan sekian, wassalamualaiku warahmatullahi wabarakatuh) kemudian berlari dari panggung mencari tempat gelap.
Penonton pun bersorak... huh...huh...
Sebagai alumni, ada beberapa hal yang saya kagumi dari madrasah ini. Pertama, pembayaran SPP menggunakan beras. Sejak zaman saya hingga sekarang masih 1 liter setengah. Konon, pernah diganti dengan uang, tapi macet. Kemudian kembali menggunakan beras karena rata-rata wali kelas adalah para petani.
Kedua, saat acara samenan, setiap siswa dikasih (ompreng). Kami makan bareng bersama teman-teman dengan suasana gembira. Ketiga, mulai mendekati budaya setempat; yaitu melakukan parade diiringi kendang pencak (tahun 2008).
Hal ini berawal dari madrasah kampung sebalah mengundang drum band dari kota. Madrasah ini pun ingin parade, tapi biaya tak cukup. Dewan guru tak kehabisan akal. Mereka mengundang para nayaga kendang pencak di kampung kami yang sudah tidak pernah manggung lagi (karena sudah tidak diminati). Mereka menerima undangan itu dengan senang meski hanya diimbal makan.
“Tah sakitu ge cekap wasalamualaiku warahmatullahi wabarkatuh....” Gejlig...Tewewew...Ganti...
Cilulumpang, Sukabumi 4 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar