Saya senang dengan nama daerah kosan baru ini: Sedap Malam. Memang tidak ada satu pun bunga di situ. Jangankan sedap malam, sekadar pepohonan pun bukan main sulitnya dicari, selain yang rumput dan atau sengaja ditanam di pot.
Meski demikian, apa salahanya jika saya senang dengan nama sedap malam, bukan? Bunga yang saya anggap hanya dan untuk malam. Hanya mewangi di waktu malam dan untuk makhluk penikmat malam.
Namun, setelah beberapa hari tinggal di situ, ada beberapa hal yang tidak membuat saya tidak kerasan.
Pertama, yang nongkrong di sekitar kosan adalah balita: bawah lima tahun. Juga atas lima puluh tahun.
Kedua, tahi kucing!
Tahi kucing inilah yang membuat saya pusing tujuh ribu keliling. Bagaimana tidak, setiap pagi, di ambang pintu disuguhinya itu tahi. Saudara bisa bayangkan sendiri aroma tahi kucing yang masih hangat, mengepulkan asap. Sudah dibayangkan?
Dengan lemas, saya membuangnya dengan kostum khusus. Saya menggunakan seragam ninja: mulut dan hidung ditutup sarung. Kemudian perutku mual melonjak-lonjak seperti hendak muntah.
Keesokan paginya, kucing itu kembali mengantarkan hal serupa. Bentuk, warna, dan aromanya tak ada beda dengan hari sebelumnya. Dasar cetakannya sama. Demikian juga esoknya. Lagi dan lagi. Begitu dan begitu. Kucing sialan…!
Saya dan teman mengatur siasat dengan berusaha bangun pagi dengan tidur di bawah pukul 24. 00. Tujuannya supaya bisa mengontrol gerak-gerik makhluk itu sebelum mendekati ambang pintu. Namun saya dan teman selalu kalah karena tetap saja tak pernah bangun pagi. Dan tentu saja kucing selalu sempurna melakukan aksinya.
Esoknya pun demikian. Lagi-lagi kalah. Betapa brengseknya hidup ini, sama kucing saja kalah. Mau tak mau kami mengakuinya.
Sebagai solusi sementara, kami membuat jadwal seperti di pos ronda. Setiap pagi, bergiliran membuang kotoran kucing.
Suatu pagi, temanku malas membuang tahi kucing karena tergesa-gesa hendak keluar. Tapi tugas adalah tugas. Wajib ditegakkan meski langit hendak runtuh. Untuk mensiasatinya, dia menyemprot tahi kucing itu dengan parfum. Alamak, inovasi yang luar biasa.
Saya yakin pabrik parfum itu tak menyangka bahwa salah satu produknya disalahgunakan. Jadi tahi kucing aroma Axe…
Di pagi selanjutnya, ketika saya hendak membuang tahi kucing, tetangga sebelah lewat. Saya bertanya sekadarnya, “Bu, bagaimana caranya mengusir tahi kucing?”
Dia pun tersenyum.
“Di ambang pintu ibu juga pernah dikotori kucing. Tapi langsung kotorannya dikasih garam. Coba aja! Barangkali manjur…”
Antara percaya dan tidak, saya mengikuti anjurannya. Esoknya, ketika bangun, hal pertama yang dilakukan adalah membuka pintu. Kemudian membaluri seluruh made in kucing itu dengan garam sebanyak-banyaknya. Saya biarkan begitu apa adanya sampai esok pagi.
Dan…, besok paginya tak ada secuil pun tahi kucing produk baru. Kemudian membuang yang kemarin. Saya deg-degan apakah esok hari akan ada kiriman? Hati ini berdebar-debar seperti menunggu surat dari kekasih pertama yang mengatakan kangen tingkat langit tujuh.
Dan syukur alhamdlillah, keesokan paginya tak ada kiriman dalam bentuk apa pun.
“Ah, pagi yang menyenangkan,” bisik saya.
Saudara boleh percaya atau tidak, yang jelas, sejak itu, kucing tak pernah lagi melakukan kebiasaannya. Entahlah. Mungkin dia tak rela produk masterpiecenya dibumbui orang dengan cara sedemikian rupa. Karena itulah dia mencari pasar baru, ambang pintu kosan lain.
Sejak itu, saya sering bertegur sapa dengan ibu yang memberi resep jitu antitahi kucing. Dia sangat berjasa. Jasa tiada tara dalam kehidupan ini.
Sedap Malam, 2009
Meski demikian, apa salahanya jika saya senang dengan nama sedap malam, bukan? Bunga yang saya anggap hanya dan untuk malam. Hanya mewangi di waktu malam dan untuk makhluk penikmat malam.
Namun, setelah beberapa hari tinggal di situ, ada beberapa hal yang tidak membuat saya tidak kerasan.
Pertama, yang nongkrong di sekitar kosan adalah balita: bawah lima tahun. Juga atas lima puluh tahun.
Kedua, tahi kucing!
Tahi kucing inilah yang membuat saya pusing tujuh ribu keliling. Bagaimana tidak, setiap pagi, di ambang pintu disuguhinya itu tahi. Saudara bisa bayangkan sendiri aroma tahi kucing yang masih hangat, mengepulkan asap. Sudah dibayangkan?
Dengan lemas, saya membuangnya dengan kostum khusus. Saya menggunakan seragam ninja: mulut dan hidung ditutup sarung. Kemudian perutku mual melonjak-lonjak seperti hendak muntah.
Keesokan paginya, kucing itu kembali mengantarkan hal serupa. Bentuk, warna, dan aromanya tak ada beda dengan hari sebelumnya. Dasar cetakannya sama. Demikian juga esoknya. Lagi dan lagi. Begitu dan begitu. Kucing sialan…!
Saya dan teman mengatur siasat dengan berusaha bangun pagi dengan tidur di bawah pukul 24. 00. Tujuannya supaya bisa mengontrol gerak-gerik makhluk itu sebelum mendekati ambang pintu. Namun saya dan teman selalu kalah karena tetap saja tak pernah bangun pagi. Dan tentu saja kucing selalu sempurna melakukan aksinya.
Esoknya pun demikian. Lagi-lagi kalah. Betapa brengseknya hidup ini, sama kucing saja kalah. Mau tak mau kami mengakuinya.
Sebagai solusi sementara, kami membuat jadwal seperti di pos ronda. Setiap pagi, bergiliran membuang kotoran kucing.
Suatu pagi, temanku malas membuang tahi kucing karena tergesa-gesa hendak keluar. Tapi tugas adalah tugas. Wajib ditegakkan meski langit hendak runtuh. Untuk mensiasatinya, dia menyemprot tahi kucing itu dengan parfum. Alamak, inovasi yang luar biasa.
Saya yakin pabrik parfum itu tak menyangka bahwa salah satu produknya disalahgunakan. Jadi tahi kucing aroma Axe…
Di pagi selanjutnya, ketika saya hendak membuang tahi kucing, tetangga sebelah lewat. Saya bertanya sekadarnya, “Bu, bagaimana caranya mengusir tahi kucing?”
Dia pun tersenyum.
“Di ambang pintu ibu juga pernah dikotori kucing. Tapi langsung kotorannya dikasih garam. Coba aja! Barangkali manjur…”
Antara percaya dan tidak, saya mengikuti anjurannya. Esoknya, ketika bangun, hal pertama yang dilakukan adalah membuka pintu. Kemudian membaluri seluruh made in kucing itu dengan garam sebanyak-banyaknya. Saya biarkan begitu apa adanya sampai esok pagi.
Dan…, besok paginya tak ada secuil pun tahi kucing produk baru. Kemudian membuang yang kemarin. Saya deg-degan apakah esok hari akan ada kiriman? Hati ini berdebar-debar seperti menunggu surat dari kekasih pertama yang mengatakan kangen tingkat langit tujuh.
Dan syukur alhamdlillah, keesokan paginya tak ada kiriman dalam bentuk apa pun.
“Ah, pagi yang menyenangkan,” bisik saya.
Saudara boleh percaya atau tidak, yang jelas, sejak itu, kucing tak pernah lagi melakukan kebiasaannya. Entahlah. Mungkin dia tak rela produk masterpiecenya dibumbui orang dengan cara sedemikian rupa. Karena itulah dia mencari pasar baru, ambang pintu kosan lain.
Sejak itu, saya sering bertegur sapa dengan ibu yang memberi resep jitu antitahi kucing. Dia sangat berjasa. Jasa tiada tara dalam kehidupan ini.
Sedap Malam, 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar