Pertengahan 2008, di rubrik “kilas daerah”, harian Kompas memuat berita tentang alat pengusir hama tanaman yang digunakan petani-petani Sunda zaman baheula. Hanya beberapa kalimat! Dengan gambar seorang petani bercaping sambil meniup sesuatu di mulutnya. Namanya karinding. Lebarnya 1 cm, tebalnya 3 mm, di beberapa bagian dilubangi.
Saya langsung mengklipingnya. Saya baca berulang-ulang. Tapi tak puas.
Suatu waktu, saya bertanya kepada Google, kakek seribu data, seribu jawab. Di dunia antah-berantah itu, saya berdiskusi dengan berbagai situs. Tapi lagi-lagi saya tak puas.
Ketika pulang, saya bertanya ke orang tua saya, kakek, dan seorang punduh, tapi mereka tidak tahu. Oh, betapa asingnya benda itu. Tenggelam dalam lipatan waktu. Terlempar dari ingatan kolektif kita. Padahal, dulu sangat akrab dengan kita, dengan petani...
Akhir Desember 2008, saya diajak seorang sahabat menyaksikan upacara Seren Tahun komunitas adat karuhun urang (AKUR) Cigugur. Prosesinya dilakukan selama seminggu. Berbagai komunitas adat Nusantara hadir, mulai Dayak Losarang, Bali Aga, Dayak Mangaju, Boti NTT, Dayak Ma’anyan, Merapu NTT, Taulud Sulut, Bissu Sulsel, Tanimbar Kei Maluku, AKUR Ciamis, AKUR Garut, AKUR Cireundeu, dan komunitas-komunitas lain.
Di malam terakhir upacara, diadakan acara seribu kidung dan doa. Beberapa perwakilan adat berdoa untuk kedamain bangsa dengan berbagai bahasa dan kepercayaan. Salah satu komunitas berdoa diiringi suara aneh dan khas, sekaligus asing. Ternyata beberapa orang temannya meniup benda yang panjangnya sejengkal.
Ketika saya perhatikan, benda itu mirip dengan gambar di Kompas. Ya, karinding, alat pengusir hama. Mungkin maksud komunitas itu adalah mengusir hama dan bencana yang menggerogoti bangsa ini...
Pertengahan April 2009, hampir tengah malam, seorang sahabat datang ke tempat saya. Dia membawa oleh-oleh khusus: karinding dan iket. Bagi saya, dua cenderamata dari leluhur yang bersemayam bersama Dewi Pohaci di Buana Nyungcung.
Aku langsung mengenakan iket itu dengan langgam “barangbang semplak”, kemudian “parekos nangka”.
Kemudain dia mengajariku memainkan karinding. Betapa dahsyatanya. Saya merasa berada di tengah hamparan pesawahan dengan bulir-bulir padi menguning berjuntai-juntai, siap dipanen. Sementara saya mengsir hama...
Semoga karinding itu dapat mengusir hama dalam diri saya...
Sedap Malam, 17 April 2009
Terima kasih kepada Rifki Afwan yang membawa oleh-oleh
Saya langsung mengklipingnya. Saya baca berulang-ulang. Tapi tak puas.
Suatu waktu, saya bertanya kepada Google, kakek seribu data, seribu jawab. Di dunia antah-berantah itu, saya berdiskusi dengan berbagai situs. Tapi lagi-lagi saya tak puas.
Ketika pulang, saya bertanya ke orang tua saya, kakek, dan seorang punduh, tapi mereka tidak tahu. Oh, betapa asingnya benda itu. Tenggelam dalam lipatan waktu. Terlempar dari ingatan kolektif kita. Padahal, dulu sangat akrab dengan kita, dengan petani...
Akhir Desember 2008, saya diajak seorang sahabat menyaksikan upacara Seren Tahun komunitas adat karuhun urang (AKUR) Cigugur. Prosesinya dilakukan selama seminggu. Berbagai komunitas adat Nusantara hadir, mulai Dayak Losarang, Bali Aga, Dayak Mangaju, Boti NTT, Dayak Ma’anyan, Merapu NTT, Taulud Sulut, Bissu Sulsel, Tanimbar Kei Maluku, AKUR Ciamis, AKUR Garut, AKUR Cireundeu, dan komunitas-komunitas lain.
Di malam terakhir upacara, diadakan acara seribu kidung dan doa. Beberapa perwakilan adat berdoa untuk kedamain bangsa dengan berbagai bahasa dan kepercayaan. Salah satu komunitas berdoa diiringi suara aneh dan khas, sekaligus asing. Ternyata beberapa orang temannya meniup benda yang panjangnya sejengkal.
Ketika saya perhatikan, benda itu mirip dengan gambar di Kompas. Ya, karinding, alat pengusir hama. Mungkin maksud komunitas itu adalah mengusir hama dan bencana yang menggerogoti bangsa ini...
Pertengahan April 2009, hampir tengah malam, seorang sahabat datang ke tempat saya. Dia membawa oleh-oleh khusus: karinding dan iket. Bagi saya, dua cenderamata dari leluhur yang bersemayam bersama Dewi Pohaci di Buana Nyungcung.
Aku langsung mengenakan iket itu dengan langgam “barangbang semplak”, kemudian “parekos nangka”.
Kemudain dia mengajariku memainkan karinding. Betapa dahsyatanya. Saya merasa berada di tengah hamparan pesawahan dengan bulir-bulir padi menguning berjuntai-juntai, siap dipanen. Sementara saya mengsir hama...
Semoga karinding itu dapat mengusir hama dalam diri saya...
Sedap Malam, 17 April 2009
Terima kasih kepada Rifki Afwan yang membawa oleh-oleh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar