Selasa, 03 Juni 2025

Sore dan Anjing yang Bernyanyi Rindu Seraya Bertanya Apa Kabar

Foto: stock.adobe.com
Jalan sore-sore. Jalan-jalan kemana? Kemana saja yang penting jalan-jalan untuk menunjukkan saya masih bisa berjalan kaki sebagaimana umumnya orang-orang yang masih hidup yang mampu berjalan kaki. 

Berapa lama saya tak jalan sore-sore? Itulah. Saya tak ingat, mungkin tiga bulan atau setahun yang lalu. 

Sebelumnya, saya sempatkan mandi terlebih dahulu dengan sabun mandi beraroma jeruk nipis. Wanginya masih tercium seperti sabun cap merak yang sampai ke Parit Buntar. Layaklah saya disebut sebagai bagian orang yang bradab. Orang yang baru kenal pasti akan menilai saya sebagai seorang yang rajin mandi. 

Rambut lurus saya pun disisir dengan rapi. Sangat penurut karena dibaluri pomade kelas kambing. Aroma shampo sasetan masih tercium dalam radius sepuluh langkah. Kutu-kutu yang beranak pinak di pangkal sulur-sulur rambut pingsan sementara waktu. 

Angin sore bertiup dengan sederhana saja. Tak seperti orang-orang yang begitu cepat ingin kembali pulang atau pergi entah kemana. Langit mendung memang, tapi bukan berarti hujan akan turun, bukan? 

Badan terasa segar. Hidup begitu ringan dan penuh gelegak. Sengkarut dalam pikiran seperti diserap mendung di langit itu. Tiap langkah kaki seperti melemparkan segala riuh-rendah yang kerap bersarang di hati. 

Eh, mendung ternyata memang berarti hujan sore itu. Dimulai dengan gerimis tipis-tipis. Saya orangnya mudah masuk angin. Tanpa komando, saya kemudian menepi ke warung kopi terdekat. Duduk sambil memesan segelas, saya disambut musik dugem lawasan. 

Saya menatap sulur-sulur gerimis yang membasahkan aspal, helm pengendara motor, dan kap kendaraan roda empat. 

Ketika jalanan sepi sesaat, mata saya terantuk pada seekor anjing di seberang. Ia juga menepi depan sebuah warung yang sepi pembeli. Ia menatap saya dengan sikap sitting calmness berdasarkan web cobberdogking.com. Dia seperti memperhatikanku. 

Mungkin dia ingin mengatakan, kita sama-sama neduh nih ye?  

Tukang kedai kopi menyodorkan secangkir cairan hitam yang mengepulkan asap. Saya hanya meliriknya sebentar seraya mengucapkan terima kasih. Lalu beradu pandang lagi dengan anjing. Kami saling bertatapan. 

Nyanyian bernuansa house funkot milik kelompok pemusik asal Bandung terdengar menggelegar, memenuhi kedai sempit. Sementara lagu itu liriknya seperti bercakap saja antara beberapa laki dengan satu perempuan. Hanya diiringi jedak-jeduk saja sehingga disebut sedang bernyanyi. 

Lagu itu dibuka dengan kata-kata yang seperti mantra tak bermakna yang mengundang kehadiran makhluk astral telanjang bulat yang meliuk-liukkan pingganggnya secara ritmis. 

Ma-ya-hi, ma-ya-hu, ma-ya-ho, ma-ya-ha-ha

Ma-ya-hi, ma-ya-hu, ma-ya-ho, ma-ya-ha-ha

Ma-ya-hi, ma-ya-hu, ma-ya-ho, ma-ya-ha-ha

Ma-ya-hi, ma-ya-hu, ma-ya-ho, ma-ya-ha-ha 

Anjing itu menatap saya lekat-lekat seperti mengandung rindu berabad-abad yang menunggu waktu untuk ditumpahkan. Ketika mendengar lagu itu ia seperti seperti mendengar dering alarm yang mengisyaratkan semacam momentum tepat untuk memuntahkan kerinduannya.

Anjing itu membuka mulutnya seperti menirukan nyanyian itu. 

Halo…, sayang…, apakah kabarmu? 

“Mungkinkah itu anjing perempuan?” pekik hati saya sambil menyesap kopi perlahan dan menjejalkan segumpal asap rokok yang diisap kuat-kuat tepat ke pangkal paru-paru.  

Yang lama gak ketemu, kini jumpa lagi

“Entah berapa lama saya tak bertemu anjing,” ucap saya dalam hati sambil meneguk kopi pelan-pelan, merasakannya beberapa saat agar memicu otak mengingat-ingat masa lalu tentang seraut wajah anjing yang terselip di dalam khayal. 

Apa kabar denganmu, rindukah kau padaku

“Tentu saja saya berusaha baik-baik saja,” kata saya di dalam hati sambil menyeruput kopi lagi perlahan-lahan. Saya orangnya tak ingin menyimpan rindu apalagi mengawetkan luka.  

Eh, kok ketemu lagi 

“Saya tak berharap bertemu lagi dengan anjing seanjing kamu karena anjing seanjing kamu, mengingatnya pun menyakitkan, apalagi bertemu,” desah saya di dalam hati sambil menikmati kopi yang tinggal separuhnya. 

Apa aku ini mimpi?

Saya tak mengucapkan apa-apa lagi di dalam hati. Gerimis di luar semakin tipis dan jarang-jarang. Kopi hanya tersisa dedaknya. 

Saya pun pergi tanpa melirik anjing itu sama sekali.    


31 Mei 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar