Senin, 26 Mei 2025

Saya Orangnya Jadi Pendengar Musik Jabariyah Sekarang

Mulai sekarang saya akan berusaha mengadopsi jabariyah dalam menikmati musik. 

Begini, akhir-akhir ini saya orangnya dilanda kebosanan luar bisa mendengar musik. Padahal ini bagian yang harus dinikmati, sebagai tata cara merayakan kehidupan.

Kebosanan itu muncul entah dari liang pori-pori mana. Tiba-tiba saja bertakhta, dan susah mengusirnya, seperti kemalasan. Misalkan kuputar satu lagu bermuatan kenangan, tak nikmat. Diputar lagu baru, apalagi. Diputar lagu lawas hingga terbaru, tak jauh beda. Dari genre satu ke genre lain. Mulai dari yang dipahami bahasanya hingga tak  dimengerti, juga seperti itu.

Ini derita, Saudara! Tahu kan apa artinya derita? Begitulah!

Lalu apa hubungannya dengan jabariyah? Istilah ini adalah aliran dalam ilmu kalam atau teologi. Kalau tak salah ingat, disebut juga fatalis. 

Konon, aliran ini menyerahkan segala sesuatunya begitu saja kepada Sang Pencipta. Mungkin alasannya, ketika lahir saja tak pernah minta. Maka hidup model demikian harus diserahkan kepada yang mengadakannya. Dialah yang bertanggung jawab sepenuhnya, jabariyah hanya menjalani. Macam anak wayang saja. 

Jika ada yang mengatakan berkuasa atas dirinya, itu hanya sok-soakan saja. 

Tapi biarlah, hidup macam begitu pun harus dibiarkan mengada. Orang jabariyah pasti menganggap bahwa itu kuasa Pencipta juga.

Setelah dipikir bolak-balik, muter-muter, bahkan jungkir balik ternungging-nungging, enak nian hidup seperti jabariyah. Ia mengalir dari satu kejadian ke kejadian lain dengan satu pikiran, semuanya sudah ada yang mengatur. Kejadian jahanam maupun surgawi tinggal menjalani saja. Siksa atau suka adalah takdir yang mesti diterima.

Mulai sekarang, saya akan mendengarakan musik dengan teknik seperti itu. Kalau saya suka, apa pun jenisnya, suaranya, akan saya dengar. Suara penyanyi dari yang merdu atau kaleng rombeng akan rela menikmatinya. Dari nyanyian alay dan selainnya akan diterima dengan kedua belah telinga terbuka.

Kalau tidak suka, ya ditinggalkan. Habis urusan.

Saya akan mencontohkan ketika misalkan di angkot atau di bus malam. Jika di mobil itu ada fasilitas memutar musik, saya akan jabariyah saja. Musik apa pun akan saya dengarkan. 

Lalu bagaimana jika saya di depan layar komputer? Bukankah saya berkuasa atas jenis musik? Dulu, siasatnya, saya akan memasukan fail dari folder-folder musik ke program Winamp. Peduli setan lagu apa, selama Winamp bisa memutarnya, akan saya masukkan. Bahkan mungkin rekaman wawancara dengan seseorang yang tak dikenal publik sama sekali. Lalu saya akan dengan jabariyah mendengarnya. 

Saat ini, lebih mudah saya akan memutar dari YouTube saja dengan mengaktifkan fitur memutar otomatis sehingga ia akan memutar lagu apa saja sekenanya. Sederhananya menyerahpasrkan kepada, menurut orang, namanya algoritma mesin pencari. 

Lalu, bukan saat pertama kali saya memutar lagu di YouTube saya punya kuaasa untuk memilih? Ya, betul. Namun, itu saya pilih sembarang saja, sebagai titik tolak untuk kemudian diserahkan sepenuhnya kepada algoritma.  

Algoritma itu akan menyasar lagu-lagu sejenis dengan lagu pembuka saya atau merambah jejak lagu-lagu yang pernah diputar saat saya berkuasa sepenuhnya atas keinginan memutar lagu tertentu. Mungkin algoritma itu di antaranya menyeret koleksi dalam playlist-playlist yang pernah saya bikin.  

Saya orangnya pendengar musik jabariyah sekarang.

Kalibata, 22 Agustus 2013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar