Minggu, 02 April 2023

Celurit Emas Kepincut Nescafe 3 In 1

Malam ini, untuk kedua kalinya saya berjumpa sastrawan besar asal Madura, Si Celurit Emas, Zawawi Imron. Dia ke Jakarta atas undangan RRI untuk membaca puisi dan orasi kebudayaan menjelang buka puasa sore nanti, Senin, (14/08).

Beberapa waktu lalu, saya pernah ketemu penulis antologi puisi Kelenjar Laut ini. Ia ke Jakarta dalam acara serupa di TIM. Sebelum pulang, ia dibelokan Hamzah Sahal ke Ciputat.

Mendapat kabar ini, sahabat-sahabat Ciputat langsung gegap-gempita, bergerak untuk menjamunya. Jamuan kepada sastrawan adalah menimba semangat atas kreativitasnya, mengapresiasi karya-karyanya dan mempertemukannya dengan sastrawan lain. Diundanglah Yanusa Nugroho, penulis novel Di Batas Angin, dan AS Laksana, Bidadari yang Mengembara.

Diskusi yang bertempat di asrama PMII Ciputat ini dipandu Ahmad Makki . Suasana berlangsung dengan santai dan cair. Peserta bertukar pikiran tentang kondisi sastra Indonesia, proses kreatif dan trik-trik menulis.

Di sela diskusi, Zawawi Imron melukis Yanusa da AS. Laksana. Ternyata penyair yang menulis Nenek Moyangku Airmata (1985) ini, lihai melukis juga.

Sayang sekali saya tidak dapat duduk manis mendengarkan diskusi mereka. Saya mondar-mandir untuk menyiapkan kopi dan cemilan yang memang tidak dipersiapkan sebelumnya. Kepanitiaan tidak dibentuk, urusan jadi kapiran memang.

Meski demikian, saya sempat menguping AS Laksana berucap ,

“Menulis itu menyengsarakan. Bisa mimisan. Susah bikinnya, kalau sudah jadi, belum tentu hasilnya memuaskan.”

Sementara Yanusa Nugroho, entah dalam konteks apa, dia bilang,

“Berjalan sejauh-jauhnya, berteriak sejadi-jadinya, diam sebeku-bekunya.”

Kopi hangat pun ditebar ke lingkaran peserta yang berjumlah sekira 5o orang ini. Sama rasa karena keluar dari ceret yang sama. Kecuali dua gelas. Keduanya kopi minus gula. Untuk Yanusa yang mendapat penghargaan Kesetiaan berkarya Juli lalu dan AS Laksana. Keduanya sama-sama dalam golongan ahli isap rokok. jenisnya sama: kretek. Cuma berlainan merek. Yang satu Dji Samsoe yang kedua Gudang Garam Merah. Selama sesajen lengkap, sampai kapan pun bisa bercerita.

Lain lagi dengan Zawawi Imron. Ia menolak kopi yang disodorkan; baik yang ada gulanya, maupun zonder. Ia minta yang lain. Kopi Nescape 3 in 1.

Beberapa teman langsung sidak, menjelajah warung di sekitar. Hasilnya nihil.

“Ya sudah, kalau nggak ada, nggak apa-apa,” kata Zawawi.

Waktu hampir tengah malam. Beberapa teman puisi karya masing-masing. Saya membaca cerpen saya berkepala “Jalan Aspal Bulan Lima”. Pak Zawawi membacakan Puisi Ibu:

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau

sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting

hanya mataair airmata ibu yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau…

Tak terasa, diskusi santai ini memakan waktu 4 jam lebih. Kami hampir lupa, jarum jam di dinding mendekati angka 12. Secara resmi, acara pun ditutup.

Tapi tak benar-benar ditutup. Kami masih ngobrol ngalor-ngidul, sambil dipotret. Kemudian Yanusa undur diri. Tapi tak benar-benar pulang karena di beranda ngobrol lagi. Kami pun berkerumun lagi. Pak Zawawi pamitan. Tapi tak benar-benar pergi, di luar pagar halaman ketiganya juga masih ngobrol. Kami pun mengerumuninya lagi. Ah, kami separti sahabat sudah lama tidak bertemu, kemudian harus berpisah lagi.

***

Malam ini Ahad, 14/08 saya ketemu Zawawi Imron lagi. Ia diajak Hamzah Sahal ke NU Online. Kebetulan pula saya sedang di situ. Kami pun ngobrol dengan santai sebagaimana anak dengan orang tuanya.

Zawawi bercerita tentang pesantren, tempat dimana ia dibesarkan. Menurutnya, nilai-nilai pesantren itu tetap relevan hingga.

“Kiai itu kan ulama. Al-Ulama warasatul anbiya. Kiai tidak menyuruh berbuat baik sebelum berbuat baik terlebih dahulu. Kiai itu uswah hasanah. Gagalnya penataran P 4 zaman Orba itu karena mereka hanya bisa ngomong, tak bisa jadi uswah hasanah.”

“Nah, yang relevan itu yang masih ada nilai-nilai uswah hasanahnya, yang hilang, dan ditinggakan orang yaitu pesantren yang nilai uswah hasanahnya hilang.”

Tapi penyair yang pernah mendapat penghargaan dari Malaysia ini tampak lesu. Mendapati ini, Saifullah Amin menawarkan kopi.

“Ngopi, pak.”

“Ya, ngopi. Tapi jangan kopi hitam.”

Saya langsung ingat keinginannya beberapa bulan yang lalu.

“Kopi Nescape 3 in 1, Pak?” tanya saya.

“Iya,” jawabnya.

“Siapa yang mau beli?” tanya Hamzah Sahal sambil mengacungkan sejumlah uang.

Meski saya tidak tahu wujudnya, saya langsung mendaftarkan diri jadi relawan. Saya pikir, mencari benda seperti itu pasti tak sesulit menemukan jarum di gunungan sekam.

“Sekalian beli apa, kek,” kata Hamzah.

Saya cuma mengiyakan sambil langsung pergi. Berdasar pengalaman, kopi jenis ini susah didapat di warung kecil. Makanya saya langsung ke mini market. Beruntung, benda itu ada. Saya ambil satu bungkus berjumlah 5 biji.

Tidak susah ternyata. Yang susah justru saya harus membeli apa lagi.

Bolak-balik di antara rak berisi makanan. Tetap tak bisa ambil keputusan. Ternyata membeli dengan tidak jelas apa yang harus dibeli sama susahnya dengan tidak punya uang sepeser pun. Tapi saya harus membelinya.

Sudut mata saya melihat tumpukan korma. Tanpa banyak cingcong saya menjambret sebungkus. Langsung balik kanan.

***

“Ini kan, Pak,” kata saya sambil memperlihatkan benda yang baru saya beli.

“Betul.”

“Apa ini? Ah, makanan orang Arab dibeli,” Hamzah berkomentar ketika di plastik dibuka benda hitam sukuran ibu jari.

Saya ketawa.

Tapi diganyang pula makanan gurun pasir itu.

Sambil menanak air, obrolan pak Zawawi sudah pada buntutnya.

“Tetangga kita yang lapar sementara kita kenyang, itu bukan orang Islam. Orang miskin dan anak yatim dibiarkan, itu pendusta agama,” tukasnya.

Air pun mendidih 100 derajat selsius. Zawawi Imron sendiri yang menuang air dan mengaduknya. Tapi anehnya gelas yang justru banyak bergoyang. Sementara sendok sesekali saja bergerak dan kadang justru terdiam. Gelas bergoyang dengan aktif.

Hamzah mengaitkan dengan perempuan Madura.

Tawa pun berderai.

“Makanya di Madura itu tak ada istilah ketidaksetaraan jender. Mereka lebih aktif !” terang Zawawi.

“Hahaha”

Hampir setengah jam kami ngobrol, penulis Rembulan ditusuk Ilalang ini berniat pulang ke penginapannya.

Kami mendapat berkah karena dia berkenan membacakan puisi.

Tuhan Engkau yang menciptakan malam yang gelap gulita

tapi aku yang harus membuat lampu yang gemerlapan

tuhan engkau yang membuat hutan belukar

tapi aku yang mengubahnya

membajaknya jadi ladang pertanian yang subur

tuhan, engkau yang membuat batu, tapi aku yang memilihnya, dan mengasahnyamembuat kemilau

tuhan engkau yang membuat racun

tapi aku harus mencari, di laboratorium, obat penawarnya

Saya curiga, jangan-jangan puisi ini tercipta begitu saja. Dan kami orang pertama yang mendengarnya.

Kemudian kami dipeluknya satu per satu, seolah anak hilang baru ditemukan. Kemudian harus hilang lagi.

Entah kenapa di pikiran saya tiba-tiba digelayuti pertanyaan, kapan lagi saya bisa bertemu dengan Celurit Emas ini. Sebenarnya banyak yang ingin saya tanyakan tapi tak bisa memilihnya.

“Pak, apa keistimewaan 3 in 1?” tanya saya.

“Ngopi, tapi tidak seperti ngopi. Tapi tetap ngopi” jawabnya sambil terkekeh-kekeh.

Saya belum tahu maksudnya. Suatu saat saya harus mencicipinya.

Sekali dua, Saudara barangkali mesti mencicipinya juga. Atau barangkali sudah pernah? Kalau begitu, syukurlah…


Kramat Raya, 14/08/11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar