Haus jabatan, haus darah, haus demo, haus cinta dan kasih sayang serta haus-haus lain. Bagaimana dengan haus kopi? Ada dan bisa juga.
Haus adalah keadaan seseorang ingin sekali meminum air. Biasanya air putih. Kalau tidak ada air putih? Air berwarna saja. Mungkin Coca-Cola. Mungkin susu kuda liar. Bisa juga air kelapa. Mungkin kopi. Dalam hal ini, status minuman tersebut adalah pengganti karena tiadanya air putih.
Lalu bagaimana ketika air putih baik dingin maupun panas tersedia, tapi sesorang atau banyakan merasakan haus untuk meminum kopi? Tak masalah, bukan dosa dan tak ada satu pasal pun yang akan menjeratnya. Saya bisa menjamin.
Haus kopi artinya keadaan seseorang yang berhasrat sekali minum kopi. Adakah orang semacam itu? Ada. Sekali lagi, ada! Atau barangkali diada-adakan. Paling tidak, ada menurut pendiri kedai Haus Coffee, junjungan saya, Mahfud Khoirul.
Bajingan memang pemilik kedai itu. Dari sisi penamaannya, ia menciptakan sebuah kondisi para pengopi bahwa kopi kedai itu membangkitkan atau mengobati rasa haus. Ini artinya, dengan seenak jidatnya menyimpulkan bahwa kopi kedai itu layaknya kebutuhan primer setiap tubuh terhadap air. Coba manusia kelahiran daerah mana yang tak memiliki kebutuhan air minum?
Bajingan, bukan?
Saya telah mendengar nama besar kedai itu meski terlambat menikmatinya. Namun, bukankah kopi selalu aktual di setiap zaman? Maka ketika berada di Ciputat beberapa minggu lalu, tempat pertama yang saya tuju adalah Haus Coffee.
Saya mungkin orang keseribu sekian yang duduk, ngobrol, di kedai itu. Berapa orang yang telah duduk di atas kursi yang saya duduki itu? Entahlah. Perempuankah? Cantikkah? Janda atau perawankah? Mohon maaf, saya tak mampu mendeteksinya. Entahlah pemilik kedainya. Mungkin memiliki semacam alat rahasia untuk kebutuhan tersebut. Tapi mudah-mudahan kursi yang saya duduki itu, tidak pernah diduduki koruptor. Amin. Namun, kalaupun pernah ada, apa urusannya dengan saya?
Bagaimana rasa kopinya? Penulis mana pun tak akan mampu menjelaskan rasa dengan jitu. Maka saya pun tak berani sok tahu. Lebih baik Saudara datang sendiri dan mencicipinya. Lalu apakah kemudian Saudara merasakan haus untuk mencicipinya kembali? Itu bukan urusan saya.
Di kedai itu kantung kemih menyampaikan alarm untuk kencing. Saya segera akan melakukannya sebagaimana seribu kencing yang telah saya lakukan. Sebab, tak ada faidah bagi saya untuk menahannya, misalkan untuk dibawa pulang. Tidak perlu, karena istri atau tetangga tak memerlukannya. Saya pun kemudian mencari toiletnya.
Apa gunanya kencing di toilet kedai? Begini, semula saya duduk di beranda kedai itu dengan halaman yang luas. Dua truk bermuatan penuh pun, saya kira cukup di situ. Saya memilih di beranda karena di situ boleh merokok, sementara di ruangan dalam diharamkan.
Saya keluar dari toilet dengan perasaan gembira. Kencing saya lancar. Ini patut disyukuri. Nah, selepas kencing, entah yang keberapa kali dalam hidup saya, sudut mata tergoda untuk meneliti ruangan. Di satu dinding tertulis coffee: sweet as sin, black as night. Apakah artinya? Mana saya tahu. Lebih baik tanya saja ke lulusan Jurusan Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saya kembali ke beranda. Saya tergoda meneliti rak buku kecil yang menempel di dinding, di atas kepala tempat saya duduk sebelumnya. Setelah diinspeksi secara saksama, saya terbentur satu judul. Saya ambil. Kemudian saya menjahanamkan diri untuk mencuri atau meminjam paksa buku itu tanpa mengembalikannya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar