Pilkada DKI, menurutnya, menjadi bagaian keseharian orang-orang. Mereka seolah tidak ada urusan lain. Padahal di dunia ini banyak hal. Misalnya tahi ayam, batu batre, cilok, Kak Ema, Edy Tansil, atau Mbah Marijan.
Saking kesal, teman saya yang lain melakukan konferensi pers yang tidak dihadiri wartawan mana pun, baik cetak, elektronik, di hadapan saya.
![]() |
Tiga paslon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta |
“Mana bisa,” komentar teman saya yang lain yang tentu saja tidak menghadiri konferensi tersebut. Tapi dia komentar juga, seolah-olah hadir. Begitulah hebatnya Pilkada Jakarta. Entah bagaimana caranya kok bisa tahu dan seolah-seolah "fardu ain" berkomentar, bukan urusan saya menjelaskannya.
Itu berarti, kata dia, melarang orang berpendapat. Saudara bisa kena pasal. Orang Jember, orang Tangerang, Biak Numfor, sampai Barus boleh ngomongin Pilkada Jakarta. Juga tak mungkin dibatasi profesinya. Baik ustadz, petani, pejabat, masyarakat biasa, pengangguran, dan siapa pun. Termasuk anak yang belum lahir dan yang mati, baik lama maupun baru.
“Aidit boleh komentar?”
“Kalau dia sih jangan!”
“Kusni Kasdut?”
Hmmm…
“Freddy S.?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar