Sabtu, 01 Oktober 2016

Mencari Binayapanti Jampang

Saya bersyukur bisa menyaksikan akad nikah teman yang dilaksanakan di rumah calon isterinya di Jampang. Setalah menyaksikan akad yang khidmat, saya bersama teman-teman mengunjungi tempat-tempat rekreasi. Sesekali transit ke rumah teman yang ada di sana. Saat singgah inilah saya manfaatkan untuk menanyakan perihal Binayapanti, mulai dari orang Cinyumput, Cikalapa, Badak Putih, Cinagen hingga Cikaso dan Puncak Buluh. Tapi mereka tidak tahu.

Binayapanti mengingatkan saya kepada dua tokoh Sunda. Pertama, Wastu Kancana. Konon dia adalah raja besar Sunda yang berkedudukan di Galuh Pakuan. Dia merupakan kakek Prabu Siliwangi (Sri Baduga Maharaja). Dua raja Sunda ini sama-sama membangun parit untuk pertahanan; sehingga Wastu Kancana terkenal dengan sebutan “nu marigi di kawali”, sedangkan Sri Baduga Maharaja disebut “nu nyusuk di pakwan. Nah, Wastu Kancana ini digodok di wilayah Jampang, bersama satria-satria utama kerjaaan Sunda lainnya, di sebuah padepokan bernama Binayapanti.

Kedua, Sang Mangkubumi Bunisora Suradipati atau biasa dipanggil Ki Batara Guru di Jampang.Kedua tokoh ini di diceritakan dengan baik dalam novel sejarah Yosep Iskandar berjudul “Wastu Kancana” yang ditulis dengan bahasa Sunda.

Novel itu diawali dengan datangnya utusan Prabu Hayam Wuruk dari Majapahit ke kadaton Surawisesa pada tahun 1357 M. Utusan itu membawa kabar duka yang tak terperikan bagi Negeri Sunda, yaitu tewasnya Prabu Lingga Buana bersama pengawal, termasuk Citra Resmi (Dyah Pitaloka) dalam Perang Bubat. Yang lebih menyakitkan, semuanya tewas dengan cara yang licik; yaitu dengan kedok pernikahan Citra Resmi dengan Hayam Wuruk.

Mangkubumi Bunisora merasa terpukul. Dia berkumpul bersama bares kolot, dan para sespuh kerajaan untuk membicarakan masalah negara yang genting. Beberapa orang bares kolot memaksa untuk perang. Tapi Mangkubumi Bunisora menenangkan semua untuk bisa menahan diri karena perang sangat besar risikonya. Yang menang jadi arang yang kalah jadi abu.

Dalam keadaan genting seperti itu, Anom Wastu Kancana, hilang dari kadaton. Dia merupakan putra bungsu Parbu Lingga Buana yang masih kecil. Kebetulan dia tidak ikut ke Majapahit. Seluruh pengisi istana pun geger dan panik. Semua orang mencarinya. Begitu pula Mangkubumi Bunisora. Tapi dia berusaha meghadapinya dengan kepala dingin. Dia bertekad mencari Anom Wastu Kancana dengan caranya sendiri. Pemerintahan untuk sementara diurus para bares kolot. Dengan kesaktiannya, Mangkubumi Bunisora mampu menyusul si penculik Anom Wastu Kancana. Dia bersyukur ternyata Anom dibawa ke padepokan Binayapanti Jampang.

Dari cerita ini, betapa pentingnya Binayapanti pada waktu itu. Pertanyaannya sekarang, dimana letak Binayapanti? Apakah Jampang yang disebutkan dalam novel itu adalah wilayah Jampang sekarang? Jika iya, dimana letaknya? Sebab Jampang begitu luas; hampir seluruh bagian selatan Sukabumi dan sebagian Cianjur. Atau Binayapanti dan Jampang itu hanyalah khayalan belaka Yosep Iskandar?

Hingga kini, saya belum mendapat kejelasan letak persisnya Binayapanti karena sumber data dan penelitiannya sulit ditemukan. Sebagai seorang yang memiliki darah Jampang, saya berharap suatu saat nanti bisa menemukannya…

Catatan dari Pakansi ka Pakidulan RIMASI Jakarta, 4-6 Juli 2009



Tidak ada komentar:

Posting Komentar