Dia meninggal. Seorang gadis. Kekasihku. Putri semata wayang. Ibunya menangisinya sepanjang waktu. Di sela-sela tangisnya ibunya meratap, “Anakku..., oh. Lalu, oh, Tuhan...kenapa?" Ibunya tak bisa melanjutkan kalimat tanyanya. Tapi dia membalik kalimat itu. “Tuhan..., oh, anakku, kenapa?"
Tapi tetap saja anaknya mati. Toh air mata tak bisa memanggilnya untuk kembali.
Ingatan berkelebat menatap wajah anaknya untuk terakhir kalinya. Begitu tenang. Setenang pagi. Begitu menerima. Tetapi tetap saja dia mati.
Manusia selalu ingin keabadian. Berlama-lama dengan orang yang dicintai.
Dan aku mengangeninya meski baru saja mati. Tapi toh rasa kangen tak bisa membuatnya kembali. Ingin aku balsem saja tubuh itu.
Manusia memang selalu ingin keabadian. Berlama-lama dengan orang yang dicintai.
Dan, tanah merah itu perlahan-lahan berjatuhan menutupinya. Dilepas dengan air mata dan kangen. Dan doa ikut menelusup...
Batu nisan.
Dengan nama terpahat.
Sekedar pengingat...
2007
Tapi tetap saja anaknya mati. Toh air mata tak bisa memanggilnya untuk kembali.
Ingatan berkelebat menatap wajah anaknya untuk terakhir kalinya. Begitu tenang. Setenang pagi. Begitu menerima. Tetapi tetap saja dia mati.
Manusia selalu ingin keabadian. Berlama-lama dengan orang yang dicintai.
Dan aku mengangeninya meski baru saja mati. Tapi toh rasa kangen tak bisa membuatnya kembali. Ingin aku balsem saja tubuh itu.
Manusia memang selalu ingin keabadian. Berlama-lama dengan orang yang dicintai.
Dan, tanah merah itu perlahan-lahan berjatuhan menutupinya. Dilepas dengan air mata dan kangen. Dan doa ikut menelusup...
Batu nisan.
Dengan nama terpahat.
Sekedar pengingat...
2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar