Minggu, 04 September 2016

Ini Mungkin Pertemuan Terakhir

“Kekasih, mungkin saja ini adalah pertemuan kita yang terakhir. Tentu peluk, kecup dan raba yang terakhir pula. Meski kita tak pernah mengharapkannya. Mungkin esok atau lusa, atau entah kapan aku tidak lagi menyebutmu kekasih. Dan seperti itu pula kamu kepadaku. Jangankan untuk hidup bersama, untuk sekedar menyapa dalam pertemuan tak terduga sekali pun, kita bisa jadi tak pernah mengharapkannya.

Kita memang pernah mengharapkan keabadian. Kebersamaan yang langgeng. Tapi itu tak mungkin. Sia-sia! Janganlah kita bermimpi dan membicarakan hal itu. Percuma! Sekali lagi, percuma! Hidup adalah omong kosong.

Kekasih, marilah kita rayakan kebersamaan kita ini yang mungkin untuk terakhir kalinya. Marilah kita lakukan apa yang ingin kita lakukan. Katakanlah apa yang ingin kita katakan. Semampunya, sebisanya, sejauh yang kita inginkan…”

“Sekaranglah waktunya," katanya berang, dengan mata merah menyala, semerah saga, "sekarang! Bukan esok atau lusa. Sekarang aku bukan kekasihmu lagi. Tidak ada peluk, kecup dan raba terakhir. Kebersamaan kita adalah omong kosong. Sekarang, marilah kita rayakan perpisahan kita..." kemudian dia pergi.

"Kawan, mungkin ini kongkow terakhir kita dengan kopi dan rokok terakhir. Siapa yang dapat memastikan bahwa esok atau lusa atau entah kapan bahwa kita masih akan bertemu. Kita hanya bisa meniti kemungkinan. Dari kemungkinan satu ke kemungkinan lain. Itulah yang pasti. Marilah kita rayakan pertemuan ini sebisa mungkin, sejauh yang kita inginkan. Sekarang! Besok lain lagi ceritanya. Jangan bicarakan tentang esok, sekarang saja. Seperti yang pernah kaukatakan…, karena bisa jadi kita bertemu besok atau lusa atau entah kapan, bukan lagi sebagai kawan, tapi sebagai lawan, atau lebih tepatnya musuh, meski kita sebenarnya tidak pernah menghendakinya. Keadaanlah yang menginginkan seperti itu. Seperti kata orang, kita hampir tidak memastikan atas apa yang terjadi pada diri sendiri, apa lagi pada orang lain, pada apa-apa yang terjadi di sekitar kita. Lebih-lebih apa yang terjadi esok atau lusa atau entah kapan. Marilah kawan, kita rayakan pertemuan ini. Marilah…. Sebisa mungkin, sejauh yang kita inginkan…."

Aku meneguk kopi itu. Hangat menelusuri tenggorokanku. Kemudian ke lambung… aku isap rokok itu kuat-kuat. Dalam-dalam. Pipi kanan-kiriku yang cekung semakin cekung. Asap itu aku jejalkan di paru-paruku. Entah bagaimana bentuk dan rupa paru-paruku sekarang. Mungkin aromanya seperti bau tembakau. Kemudian asap itu aku embuskan. Asap berputar-putar di mukaku. Kemudian hilang menyatu dengan ketiadaan.

Temanku meneguk kopi dari gelas yang sama. Dia mengisap rokoknya. Mengisap dalam-dalam. Menjejalkan di paru-parunya. Mungkin paru-parunya sudah rusak sepertiku. Dia tak bicara. Dia hanya memain-mainkan asap di mukanya seolah tak mendengar apa yang kukatakan. Tapi kemudian merogoh sesuatu dari balik bajunya. Ternyata belati! Dia menghunusnya. Dan ujungnya sekarang tepat berada di dada kiriku.

"Aku akan membunuhmu sebelum kau menjadi musuhku. Sekarang! Ini kehendakku. Bukan kehendak apa pun atau siapa pun. Sekarang kau musuhku! Siap-siaplah untuk mati...!"


2007-2008


Tidak ada komentar:

Posting Komentar