Jumat, 22 Agustus 2025

Nostalgia 90: Ingat Poppy Mercury, Kangen Kamu

Ketika duduk di bangku SD, hari libur sekolah bagiku adalah libur mandi juga. Merdeka. Entah kenapa ya, malas banget mandi pagi. Eh, ternyata hingga sekarang. Bahkan lebih ekstrem: bisa seharian libur sampai keesokan. Anjuran-anjuran kesehatan dari dokter dan iklan sabun mandi merk apa pun, tak mempan.

Waktu itu, saat libur sekolah, biasanya ya bermain dengan teman-teman. Ibuku tak pernah melepas anaknya sebelum sarapan: ikan asin, sambal terasi, dan lalapan. Lalu bermain kelereng, main gambar, atau kucing-kucingan. Kemudian agak siang sedikit, berenang di kali Cicatih.

Suatu pagi saat libur, ketika hendak menyambangi teman sepermainan, Firman, dari rumah tetangga terdengar nyanyian:

Antara Jakarta dan Penang membelenggu rindu...

Ternyata suara itu bersumber dari seorang gadis yang sedang mengepel lantai. Kemudian menyiram bunga lidah buaya, rincik bumi, dan kembang kertas. Waktu itu, rumah-rumah yang berisi seorang gadis selalu ada bunganya. 

Saat itu, si gadis sekolah di kelas menengah pertama, 8 km dari desaku. Bersama teman-temannya kadang terdengar melafal bahasa Inggris sesaat sebelum mengaji di madrasah, membuat kami yang masih kanak-kanak, mau tak mau harus takjub hormat.

Dia terus bernyanyi. Tapi hanya satu kalimat itu yang kuingat. Dan pada waktu itu kata Penang, terdengar seperti “pena”. Barangkali aku yang salah dengar atau dia yang salah ucap. Bertahun-tahun aku menganggap apa yang diucapkannya waktu kudengar itu kata “pena”. 

Padahal jika aku sedikit cerdas, mestinya meneliti bahwa Jakarta nama kota, berarti jika ada kata “antara” sebelumnya, kalimat itu meminta kota lain. Dalam ukuran jarak, mana mungkin nama kota dikaitkan dengan alat tulis. Tapi waktu itu tak terpikir ke sana. Lagi pula dari mana aku bisa mendengar Penang? Barangkali satu desaku tak tahu Penang, termasuk gadis itu.

Ketika kelas dua, selepas olahraga, biasanya kami berkumpul di halaman sekolah yang lapang. Dari kelas satu hingga kelas enam turut serta sesuai kelas masing-masing. Guru kami yang jangkung, dengan rambut disisir rapi menyamping, Pak Yakub Husein, berdiri megah di hadapan kami. Tangannya menggenggam pluit yang terikat tali yang dikalungkan di lehernya. Jika ada anak yang tidak memperhatikannya, pluit itu akan menjerit.

Kami bernyanyi. Mulai dari lagu wajib yang akan dinyanyikan saat upacara bendera di hari Senin sampai lagu-lagu “sunat” dan lagu lain di luar wajib dan sunat. Selalu saja ada lagu baru bagi anak kelas dua sepertiku, tapi mungkin bagi anak kelas lebih tinggi itu lagu-lagu lawas saja.

Mulailah kami bernyanyi diiringi tepuk tangan teratur. Aku mulai kenal lagu Satu Nusa Satu Bangsa, Halo-Halo Bandung. Tapi ada juga nyanyian seperti ini,

Mandolo dipapale-pale mandolo dipapale

Aku hanya ingat sampai di situ. Tak kurang, tak lebih. 

Selain itu, diperkenalkan pula tepuk Pramuka, dan tepuk-tepuk lain. Ada tepuk setan juga lgo. 

Kemudian menyanyi lagu bebas. Siapa pun boleh tampil. Dari kelas enam, tampilah anak bernama Hendra, dia bernyanyi dangdut. Liriknya seperti ini:

Jagalah mulutmu jangan asal bicara

Hanya itu yang kuingat. Waktu itu menurutku dia berbakat jadi vokalis. Di kemudian hari dia jadi gitaris grup dangdut Arista, kampung tetanggaku. Tetap dia berkiprah di jalur musik, meski skalanya lokal.

Kemudian seorang perempuan mungil, adik kelasku tampil. Luar biasa. Dia pun bernyanyi.

Surat undanganmu pernikahan itu

Kugenggam erat di tanganku

Lirik lagunya lumayan kuingat lebih dari satu kalimat karena waktu itu sedang hits. Beberapa kali kudengar di tivi atau lewat kaset pita yang diputar tetangga atau tak sengaja kudengar lewat radio.

Masih kuingat anak itu menggerak-gerak tangan di depan mukanya seperti Lady Avisha saat menyanyikan Cahaya Hidupku. Kemudian ditarik ke dada, tubuh agak dibungkukan ke depan, dan mimik muka menyiratkan sedih. Gerak-geriknya sangat alamiah. Di kemudian hari aku baru sadar. Bakat-bakat menyanyi itu bisa lahir dimana saja, termasuk di kampungku.

Tentang adik kelasku ini, hingga sekarang aku tidak tahu kabar-kabarinya dan tak tahu juga namanya. Mungkin dia jadi artis lokal di daerah yang tak bisa kuduga karena dia sudah tidak tinggal di kampungku lagi. Padahal dia telah berjasa memberi jejak kenang tentang lagu Surat Undangan.

Mungkin, ketika aku menulis ini, dia juga sedang mengingat pengalaman waktu menyanyikan lagu itu sambil menimang anaknya di dekat suaminya. Atau barangkali dia tengah sendirian dengan melakukan sesuatu yang entah.

Aku kerap merasa heran dengan teman-temanku saat itu, terutama perempuan, yang juga kadang menyanyikan lagu itu? Siapa penyanyi sebenarnya? Tanyaku dalam hati. Tapi pertanyaan ini terlindas kesibukan masa kecil, mengisi PR, mengaji, bermain gambar, kelereng, layang-layang dan sepak bola dan berenang di Cicatih.

Di kemudian hari, waktu kelas tiga, baru aku tahu, penyanyinya bernama Poppy Mercury. Aku mengetahuinya melalui acara di TVRI. Entah apa nama acaranya. Aku ingat, saat dia nyanyi, di layar ada tulisan Poppy Mercury selewat. Waktu itu aku melafalkan huruf “C” pada nama belakanganya sebagaimana adanya seperti aku melafal C pada kata cinta.

Kemudian, ketika aku menanggalkan dunia sekolah dasar, 7 atau 8 tahun kemudian, aku bertemu kamu. Karena umur kita sepadan, jadi memiliki masa kecil dengan ingatan yang terpaut pada penyanyi yang mungkin sama. Ya, belakangan aku tahu kamu juga menyukai lagu Poppy, di samping kagum Nike Ardilla. Kamu mungkin hafal lagu-lagu kedua penyanyi bersuara emas di tahun 90-an itu. Tapi aku dan kamu tak pernah membicarakan kenangan masing-masing tentang keduanya.

Pernah satu ketika, kami menaiki angkot. Meski kelihatan bagus dari luar, ternyata angkot ini rongsokan belaka. Lima belas menit bertolak, di sebuah belokan, angkot itu mogok. Dan sopir menyarankan untuk pindah ke lain angkot. Aku dan kamu pun turun. Tak mungkin seumur hidup tinggal di angkot, apalagi milik orang lain. Bukankah angkot tidak menyediakan lapangan pekerjaan dan sarana bercocok tanam serta bukan hal yang baik untuk beranak-pinak.

Namun, angkot lain tak muncul-muncul. Entah kenapa, ketidakmunculannya justru aku suka. Aku ingin angkot tak pernah muncul sampai tahun depan. Bukan, sampai rambutku dan rambutmu memutih. 

Ada angkot lewat, tapi tak berhenti. Dia seolah mendukung pikiran rambutku-rambutmu memutih seperti sulur-sulur benangsari buah jambu air. 

Bukan, angkotnya memang terisi penuh.

“Kita mampir aja ke temanku, yuk!” katamu.

Tentu saja aku senang, meskipun mampir tak sampai memutihkan rambutku-rambutmu. 

“Boleh, dimana?”

“Ikut aku!”

Aku pun mengikutimu, hanya 20-30 meter dari jalan raya. Sesampai di rumah temannya, kami disambut lagu seperti ini;

Hati siapa tak luka dan tak akan kecewa

Bila cintanya berakhir duka

“Ini Poppy, ya,” tanyaku.

“Iya,” jawabmu.

Dan ketika berganti dengan lagu baru, aku bertanya lagi, “Ini Poppy juga?”

“Iya.”

“Merdu ya suaranya.”

“Iya. Dan cantik, lho!”

"Oh," tukasku. Sebenarnya aku ingin menambah kalimat lain, "Kamu juga tak kalah cantik!" tapi lidahku kelu. Hanya, “oh.” 

Jika ingat saat itu, kadang aku ingin menjadi laki-laki perayu yang rada-rada brengsek begitu.  

Ketika lagu itu pun habis, aku tak bertanya lagi karena suaranya masih seperti sebelumnya. Sepertinya lagu itu diputar di program Winamp di sebuah komputer karena terus berputar berulang-ulang. Poppy seperti konser tak lelah-lelah untuk kami. 

“Waktu sudah sore. Kita pulang, yuk,” katamu setelah ngobrol ngalor-ngidul bersama temanmu di tengah konser Poppy in absentia.

Brengsek. Ternyata di dunia ini ada waktu. 

Akhirnya aku dan kamu pulang. Tapi sayang arah kita bertolakan. Kau ke utara dan aku ke selatan. 

Saat itu kenapa aku tidak ke utara dulu. Bukankah itu sesuatu yang menarik? Itulah. Itulah. Itulah. Kenapa? 

Sepanjang pulang ke selatan, tubuhku memang berada di angkot. Namun, pikiranku masih melayang. Jiwaku tak berhasil cepat terkumpul dengan sempurna. Hatiku masih terpaut di rumah itu: kepada Poppy dan kamu. Terpaut akan sesuatu yang terasa begitu jauh sekaligus dekat. Nyata, tapi tetap abstak saja. Begitu lembut, tapi menyakitkan. Begitu terasa semegah tugu, tapi tak bisa disentuh. Desir-desir, kelu-kelu, dan entah. Entah apa namanya. 

Dan saat itu aku tak pernah bisa mengambil kesimpulan. 

Ah, seandainya waktu bisa diedit. 


Ciputat, 5 Maret 2011, diperbaiki 22 Agustus 2025





Tidak ada komentar:

Posting Komentar