Senin, 17 Februari 2025

Anjay, Saya Pernah Walk Out dari Warjok

Ada warung makan masyhur di Ciputat: Warjok! 

Warjok terletak di mulut jalan mengarah ke Legoso. Posisinya tentu saja di samping jalan, diapit warkop dan warung pulsa. Berderet di samping kiri kanannya toko-toko lain yang kurang berfaedah rasanya jika saya sebutkan satu per satu.

Warjok adalah kependekan dari warung pojok. Konon, pemiliknya tidak menamakan demikian, tapi jadi kesepakatan tak resmi pelanggannya. Saya yakin jika pemiliknya memasang papan nama, sebagus apa pun papan dan namanya, tak akan diindahkan pelanggan. Jika papan namanya bukan Warjok, pelanggan akan menamakan Warjok. 

Namun, ada sembarang pihak, pernah saya dengar, menyebut Warjok dengan warung Jawil. Menurut sumber itu, asbabul wurud-nya karena salah seorang pelayan gaek di situ sering menjawil pundak pelanggan saat bertanya, “Lauknya apa?” 

Tapi keterangan ini gharib. Hanya keterangan ahad yang butuh penelitian lebih lanjut. Statusnya dhaif. Sementara yang mutawatir tetap Warjok. 

Mungkin ada sembarang pihak lain juga yang menamakan sembarang sebagai kesepakatan bersama teman atau pihak yang buat apa saya mengetahuinya. 

Kelebihan Warjok adalah, pertama, beroperasi 24 jam. Kedua, menunya selalu update, aktual. Ketiga, murah. 

Jadilah warung itu ramai dikunjungi berbagai kalangan. Sebenarnya satu kalangan, ya mereka yang pemurah. Maksudnya orang murahan. Lebih tepatnya penikmat harga murah. Lebih tepatnya lagi, mereka yang mau tidak mau, harus memilih harga murah. Selebihnya mungkin orang coba-coba rasa atau petualang lidah, maksudnya para pengamal tarekat wisata kuliner.

Pasalnya, soal rasa masakan, Warjok biasa-biasa saja. Namun, porsinya cocok dengan orang murahan itu. Karena tak elok menyebut mereka murahan, mari kita sebut warjoker atau warjok mania atau pewarjok. 

Kelemahan Warjok adalah pelanggan mesti antre. Bisa lama, bisa sebentar tergantung jumlah pengantre manakala umat manusia makan. Ini merupakan akibat langsung dari murah dan update

Jika saudara makan di Warjok pada waktu makan malam misalnya, harus ancang-ancang mengikhlaskan hati untuk menjalani antre sebagai bagian dari perjalanan hidup yang barangkali suatu saat bisa dicantumkan dalam CV saat melamar apa saja. 

Antre dengan baik adalah watak yang terpuji. 

Ada risiko lain di Warjok: antrean agak barbar. Pewarjok ada yang berwatak penyerobot. Kadang barisanya tak rapi. Kalah sama Pasukan Pengibar Bendera Pusaka atau Hansip. 

Akhlak para pewarjok memang mesti ditertibkan. Mereka tak pernah ikut kepanduan mana pun sepertinya. Pramuka mana Pramuka?  

Satu hal lagi, Warjok zonder sambal. Bukan tidak sama sekali sebetulnya, melainkan jarang menyajikannya. Mungkin memproduksi sambal tak sebanding dengan volume makanan. Mungkin, karena tanpa sambal pun tetap laku, buat apa menambah biaya? 

Namun karena umumnya warung makan ada sambalnya, ya sesekali saja ada. Intinya bukan prioritas. Padahal, warung tipe begitu, berandil melupakan harga cabe. Tapi, ya sudahlah. 

Perihal antre, saya pernah kena batunya. Beberapa waktu lalu, lapar menusuk perut karena dari pagi hingga malam menjelang begadang, hanya diguyur kopi. 

Begadang butuh energi cukup. Benak saya langsung bekerja memberi petunjuk dengan huruf-huruf kapital: WARJOK!

Saya berjalan sempoyongan seperti mabuk kluwek. Cacing-cacing perut meninju-ninju lambung dan memilin usus dua belas jari. 

Sementara malam dimulai dengan sederhana saja. Bulan yang samar-samar itu masihkah datang besok? Bintang-bintang itu masihkah yang kemarin?   

Selama perjalanan, saya tak henti-hentinya bersyukur karena masih punya hasrat mempertahankan hidup; menyambung hayat agar tetap dikandung badan. 

Saya ternyata masih belum mau mati kelaparan. Kalau terjadi, saya akan mempermalukan asosiasi pembegadang seluruh indonesia (APSI). Dan tentu saja menampar kehormatan Menteri Pangan di hadapan FAO.

Sampai di Warjok, ada lima pengantre. Saya paling belakang. Saya tahu diri, datang belakang, ya di belakang. Dua warjoker itu selesai dilayani, mereka langsung duduk. Dan tentu saja makan, bukan main tenis meja. 

Dua warjoker datang lagi. Kurang asem, mereka bikin barisan baru. Tapi saya akui itu siasat jitu. 

Beberapa menit antrean tersumbat karena warjoker paling depan rupanya minta nasi dibungkus. Dan sialnya, tidak kurang dari lima.   

“Lapar itu pedih, Jenderal!” 

Lutut saya gemetar.  

Kemudian datang lagi rombongan warjoker baru. Tiga orang. Saya seharusnya bahagia karena masih banyak umat manusia yang masih berdaya upaya mempertahankan hidup. Diam-diam saya menyimpulkan bahwa anak cucu Adam ini masih jauh dari kepunahan. 

Lalu, suasana jadi riuh-rendah karena mereka ngobrol seadanya dengan tema yang tentu saja tidak saya ketahui. Tertawa. Terbahak. Warjok tercederai, nyaris seperti di Taman Kanak-kanak.

Dalam situasi demikian, saya harus mengambil keputusan secepatnya. Saya harus walk out. Saya sempatkan memeloti para warjoker penyerobot itu sambil memaki. 

“Heh, bajingan tengik, cucu kura-kura, telur busuk, brengsek lu punya watak! Tidak tahu ya, gua lapar? Main serobot saja! Kalian tahu tidak, main serobot di Warjok berada di neraka paling dasar di tingkat kedelapan!” 

Tentu saja saya walk out tanpa kata-kata. Bukan saya tidak berani, tapi kondisi badan tidak memungkinkan. Seandainya saya dalam keadaan kenyang, tetap saja tak berani. 

Ciputat, 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar