Namun, kopinya membuat saya batal dituduh sedang menikmati hidup karena merupakan sasetan. Sasetan! Meminum barang demikian, berdasarkan pengalaman, sebetulnya mengundang risiko lain, perut saya mual. Namun, apa boleh buat selain itu karena saya tak punya kebun kopi di Ciputat atau di mana pun. Padahal dunia ini kan luas. Juga satu pohon pun tak punya. Bahkan sebiji pun. Ini persoalan besar hidup saya.
Sebagaimana umumnya waktu, baik di kampung maupun di kota, toh bergerak juga. Waktu pukul 13.30. saya tahu jam waktu itu akan bergerak menjadi 13.31, 13.32, 13.33, dan seterusnya. Itu saya tahu sejak kecil lho. Ya, tidak kecil-kecil banget sih. Maksudnya sejak punya kesadaran waktu. Jadi, jangan sangka saya kemarin sore baru mengetahuinya. Jangan sembarangan menuduh saya dalam urusan hitungan waktu.
![]() |
Foto profil Facebook Morenk Beladro |
Beberapa kali saya tengok telepon genggam, memastikan ada atau tiadanya pesan dari seseorang. Tak ada! Dengan demikian, seharusnya saya sudah berdesakan di Kopaja P 20 sekitar Kuningan, paling tidak. Soalnya saya punya janji bertemu. Saya sebetulnya berharap ada pembatalan dari pihak sana karena selain malas keluar, tak mungkin juga tepat waktu di tempat yang dijanjikan, Taman Ismail Marzuki, Cikini.
Sementara saya sendiri malas juga untuk membatalkan, baik dengan alasan atau tidak. Dengan alasan yang dibikin-dibikin atau karena alasan kemalasan yang tiba-tiba saja tumbuh waktu itu; oleh sebab itu, mengatur ulang jadwal pertemuan. Saya, ini saya, untuk membuat alasan karena malas bertemu pun malas. Inilah persoalan terbrengsek dalam hidup saya. Apakah itu masih ada sekarang?
Ngantuk menyerang tanpa pengawalan ketat. Meski saya susah tidur dan susah bangun, tak kebal juga diserang ngantuk. Saya kira itu hal wajar. Siapa pun pernah mengantuk, bukan, baik itu orang saleh maupun bajingan, saksi persidangan pilpres atau bukan. Siapa saja. Cuma daun pintu saja yang tak pernah. Eh, saya tak bisa memastikan pula dia pernah mengantuk atau tidak sebab belum pernah menanyakan dan sayangnya dia belum pernah memberi tahu. Jadi, saya ralat soal itu.
Dan 15.00 pun berlalu. Kemudian waktu tak bisa ditolak siapa pun, menjadi sore. Menjadi malam. menjadi pagi. Menjadi siang kembali. Berganti hari. Minggu dan bulan. Bahkan tahun.
Saya membuka telepon genggam, memastikan pesan dari seseorang yang pernah saya dan dia janji bertemu. Tidak ada, baik pembatalan pertemuan, dakwaan dan makian karena saya tidak hadir dengan tidak memberi kabar, atau hal-hal yang tidak terkait itu. Begitu juga dia dari saya karena saya tidak mengirim pesan satu huruf atau satu tanda baca pun.
Entahlah dia lupa atau sama dan sebangun dengan kemalasan saya. Suatu saat saya akan menanyakan hal itu kepada yang bersangkutan. Namun, tak akan pernah saya mendapatkannya karena dia telah tiada. Morenk Beladro….
Saya mengenalnya sekitar bulan Juni 2011. Ia duduk di kursi menghadapi laptop tipis berwarna putih. Laptop yang baru pertama kali saya melihatnya. Saya menduga harganya bisa seharga lima kali lipat komputer di warnet Ciputat waktu itu. Di sisi kanannya asbak dan cangkir kopi. Tatapan matanya pada layar laptop yang menampilkan barisan kalimat. Ia sedang menata buku Piagam Kebangsaan yang disunting Abdul Mun’im DZ.
Saya baru pertama kali melihatnya. Badannya tegap, lumayan tinggi mendekata 170 cm, berparas khas Aceh. Dia memang orang Aceh.
“Reng, reng…,” kata Savic Ali.
Saya menduga nama pria yang sedang mendesain buku itu Gareng. Belakangan ternyata Morenk. Dan ternyata nama belakangnya, Beladro. Dan belakangan ternyata itu alias. Aslinya Ahmad Mauladi.
Saya semakin agak dekat dengannya setelah bersama-sama Hamzah Sahal, Muhaji Fikriono, Alamsyah M. Djafar, Abi Setyo Nugroho, Ahmad Makki, Dedik Priyanto, Hafiz Kurniawan, Zakky Zulhazmi, Hengky Ferdiansyah, Arlian Buana, Ahsan Ridoi, Adi Sucipto, Aditya Fadjar, Aditia Nugroho, Ahmad Ubaydillah, Hasyim Zain, Uci Sanusi mengelola majalah Surah. Di majalah itu tertulis Ahmad Mauladi sebagai pemimpin umum, Morenk Beladro sebagai grafis. Namun majalah itu tak mengalami tua.
Soal karya tataan grafisnya, saya dan banyak orang mengakui keelokannya. Namun, saya tak bisa menjelaskan bagaimana elok dalam hal itu. Bukan bidangnya soalnya. Lalu bidang saya apa? Jawabannya adalah mengetahui bahwa kopi sasetan tidak enak, tapi sering terjebak mau tidak mau meneguknya. Saya tiada ahli untuk saksi semacam persidangan sengketa pilpres ataupun yang lainnya.
Karena majalah itu, saya beberapa kali ke tempat tinggalnya di Kalibata City, Tower Akasia. Belakangan hijrah ke Tower Hebras. Sejak di Akasia itu ia membuka kedai kopi Pancong. Kedai itu tak akan pernah saya lupa sebab buku kumpulan cerpen saya bersama Zakky Zulhazmi diluncurkan di situ. Makyun Subuki dan Sabiq Carebest yang membedahnya.
Di kedai itu tersedia papan catur. Saya pernah berhadapan dengan Morenk Beladro. Soal siapa yang menang, saya takut dituduh mengklaim dan sukar dicari saksinya. Yang jelas ketika babak kedua usai, keringat di wajahnya bercucuran seperti sehabis futsal. Ya, dia gemar futsal juga. Rutin tiap minggu. Sekali dua saya pernah melihat dan bertanding dengannya. Soal kemampuannya di bidang itu, Saya sepakat dengan Sumantri Suwarno dalam statusnya. Cek saja sendiri.
Saya terakhir bertemu dengannya di kedai yang saat itu sudah di Herbras pertengahan 2018. Saya bersama istri, Nelly Korabe dan anak perempuan saya ke situ. Makan dan ngopi di situ. Tapi tak main catur. Saat itu dia habis terapi urat saraf. Ya, dia mengidap kanker di rahang bertahun-tahun hingga meninggalnya setelah Lebaran tahun ini.
Selamat jalan, Bang... Kelak akan saya ceritakan kepada anak saya, bahwa dia pernah digendong seorang desain grafis andal dari Aceh…
20 Juni 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar