Selamat pagi anak-anak...,” kata seorang ibu setengah baya ketika memasuki sebuah ruangan kelas.
“Selamat pagi, Bu...,” jawab anak-anak serentak. Mereka langsung duduk dengan rapi. Tatapan mereka terpusat pada sosok yang baru meraka lihat. Sebagian ada yang berbisik dengan teman di sebelahnya.
Sosok itu langsung menuju kursi dan meja guru di pojokan depan. Perawakannya yang mungil membuat gerakannya kelihatan gesit. Kemudian dia meletakkan tas tangannya yang berwarna hitam mengilat di meja itu. Dia sekarang berdiri di depan kelas. Sorot matanya yang tajam, namun berwibawa menyapu seantero ruangan beberapa saat. Tangannya membetulkan letak kacamatanya sebentar.
“Ini betul kelas tiga, ya?” tanya sosok baru itu.
“Iya, Bu...”
Sosok itu mengangguk-angguk. Senyumnya mengembang. Kemudian dia melangkah mendekati papan tulis.
“Baiklah anak-anak, perkenalkan nama saya Pertiwi Kusumah,” kemudian dia menuliskan nama dan alamatnya dengan lengkap di papan tulis. Huruf-hurufnya bersambung dengan indah, “kalian boleh memanggil ibu, Bu Pertiwi atau Bu Tiwi saja. Terserah bagaimana senangnya kalian. Oh ya, ibu adalah guru baru di sini. Sebelumnya, ibu mengajar di Sekolah Dasar, di sebuah daerah terpencil di sebelah timur negeri ini. Lima belas tahun ibu tugas di sana. Sekarang dialihtugaskan ke sekolah Bhineka Bangsa ini. Dan sesuai tugas kepala sekolah, ibu menjadi wali kelas kalian. Ibu senang menjadi wali kelas kalian.”
Bu Pertiwi menambahkan, “Tapi sebelum kita belajar, ibu akan mengabsen dulu nama-nama kalian,” sambil membuka tasnya dan mengambil sebuah buku absensi, kemudian duduk di kursi, “yang namanya disebut, harap mengacungkan tangan supaya ibu mulai kenal kalian. Biasanya, dalam hitungan minggu, ibu akan hafal nama-nama kalian...”
“Ahmad Teuku Syamsudin.”
“Hadir, Bu...”, kata anak yang duduknya di pojok belakang.
“Barnabas Suebu.”
“Hadir, Bu...”, kata anak yang berambut ikal yang duduknya bersebelahan dengan Ahmad.
“Igde Tapa.”
“Hadir...”
“Lisa Hasibuan”
“Ada...”
“Poniyem...”
“Steven Chang....”
“Titim Patimah....”
“Zezen Zainal Abidin...,”
“Hadir..”
Berarti tidak ada yang bolos," kata Bu Pertiwi setelah nama terakhir diabsennya, "ibu senang belajar bersama murid-murid yang rajin. Kalau ingin berhasil, dan cita-cita kalian tercapai, ya harus giat belajar dari sekarang. Oh ya, dari nama kalian, ibu bisa memperkirakan dari daerah mana asal kalian, atau dari mana orang tua kalian berasal. Cocok sekali dengan nama sekolah ini, Bhineka Bangsa. Kebhinekaan itu tepatnya ada di kelas ini. Baru pertama kali ibu mengajar di kelas dengan murid-murid seperti kalian.”
Penghuni kelas terdiam. Mereka belum pernah mendapatkan penerangan seperti itu sebelumnya.
“Tapi ada satu hal yang kurang dari kelas ini. Kebersihannya tidak terjaga! Ibu ingin ruangan ini selalu bersih dan tak berdebu setiap hari supaya kita bisa belajar dengan nyaman dan tenang. Sarang laba-laba di sudut langit-langit itu tidak enak dipandang. Gambar-gambar yang menempel di dinding penuh debu. Coba kalian lihat gambar pahlawan itu,” telunjuk bu Pertiwi mengarah ke gambar-gambar yang berderet di dinding kelas, tatapan murid-murid mengikuti arah telunjuk itu, “lihat pula gambar Presiden dan Wakil Presiden, dan atlas itu, kelihatan kusam! Gambar burung garuda juga terlihat buram. Tidak sehat kita belajar di ruangan seperti ini. Nah, sebaiknya sekarang kita bersihkan dulu ruangan ini. Kalau bisa, lantainya dipel...!”
“Itu tugas anak-anak perempuan, Bu,” kata anak laki-laki serentak.
“Itu tugas anak laki-laki, Bu,” anak-anak perempuan mengelak.
“Bukan! Itu tugas perempuan.”
“Bukan! Itu tugas laki-laki.”
“Stop...! Stop...!” Bu Pertiwi mengangkat tangannya ke muka, “semua murid harus bekerja sama, tanpa kecuali! Anak perempuan dan laki-laki harus bekerja sama. Keduanya harus saling membantu menyingsingkan tangan. Laki-laki harus menghargai perempuan. dan perempuan pun harus seperti itu. Ibu tidak ingin mendengar ucapan-ucapan kalian seperti itu lagi. Paham?"
"Paham...mm."
"Oh ya, hari ini adalah hari perkenalan kita. Jadi, kita tidak belajar sesuai dengan jadwal yang telah ada. Sebagai gantinya, kita bernyanyi bersama...”.
“Hore....!”
“Jangan ribut...!” Bu Pertiwi mengangkat telunjuknya dan ditempelkan di bibirnya. “Ingat...! Bersihkan dulu kelas ini, ya! Ibu akan ke kantor dulu, menemui bapak kepala sekolah. Kelas ini harus bersih saat ibu kembali,” katanya sambil beranjak meninggalkan kelas.
***
“Nah, kalau kelasnya bersih seperti ini, kita bisa belajar dengan nyaman,” kata Bu Pertiwi menatap seisi ruangan yang jauh berbeda dengan sebelumnya, “kalau dikerjakan bersama-sama, semua pekerjaan akan cepat selesai dan lebih gampang. Biasakanlah seperti ini. Sekarang, tugas kitalah untuk menjaganya.”
“Iya, Buuu....”
“Baiklah anak-anak, sesuai janji ibu tadi, sekarang kita akan bernyanyi....”
“Hore....!”
“Kalian sudah siap?”
“Siap....pp!”
“Lagu apa yang pernah kalian pelajari?”
“Cicak-cicak di Dinding,” kata salah seorang.
“Balonku Ada Lima,” kata yang lain.
"Naik-naik ke Puncak Gunung,"
“Nah, sekarang kita belajar lagu lain...”
“Saya ingin belajar lagu “Rasa Sayange", Bu Guru,” kata salah seorang anak yang duduknya di depan.
“Lagu “Ampar-ampar Pisang,” kata seorang anak sambil mengacungkan tangan.
“Lagu “Sinanggar Tulo saja,” kata anak lain sambil berdiri.
“Lagu “Manuk Dadali”! Itu lagu enak, Bu.”
“Saya ingin lagu Ilir-ilir.”
“Potong Bebek...!”
Ibu Pertiwi terdiam melihat tingkah murid-murid barunya.
“Bu, belajar lagu "Manuk Dadali" aja. Itu lagu daerah kami. Di kelas ini, daerah kamilah yang paling banyak muridnya. Yang banyaklah yang harus diutamakan, yang lain menunggu giliran.”
“Enak aja! Tidak bisa begitu. Sayalah yang paling dahulu mengacungkan tangan. Berarti lagu daerah saya dulu yang diajarkan. Siapa cepat dia dapat.”
“Yang diajarkan bukan lagu siapa paling banyak dan siapa paling cepat. Itu salah! Yang benar adalah lagu daerah yang paling dekat dengan ibu kota negara."
"Bukan begitu, tapi suara siapa yang paling merdu. Saya pernah menjadi juara menyanyi mewakili sekolah ini. Jadi, lagu daerah saya yang pantas diajarkan,” kata seorang anak perempuan.
“Tidak bisa begitu. Yang paling berhak diajarkan adalah lagu daerah bu guru. Ternyata saya satu daerah dengan Bu Guru?”
“Tidak bisa seperti itu.”
“Bisa...!”
“Tidak bisa!”
“Bisa...!”
“Tidak bisa!”
Kegaduhan memenuhi kelas itu. Masing-masing ingin lagu daerahnya. Yang merasa paling banyak, berdiri kemudian berteriak hingga tenggorokannnya kelihatan turun-naik. Teman-temannya mengikuti. Yang lain tak mau kalah, mereka berteriak sekuatnya pula. Yang lain ada yang menggulung bukunya, kemudian dia berteriak lewat lubang itu. Yang lain memukul-mukul meja. Sebagian ada yang menutup kupingnya rapat-rapat dengan tas. Sebagian lagi ada yang hanya diam merasa tidak punya keberanian. Sekarang bahkan mereka mulai saling memaki. Bu Pertiwi berdiri hendak menenangkan.
“Brak...” tiba-tiba sebuah benda jatuh dari atas dinding. Peta negara kepulauan itu sekarang berada di lantai. Piguranya retak. Paku berkarat yang menyangganya patah. Semua penghuni kelas diam. Tatapan terpusat ke benda jatuh itu. Untuk beberapa saat, tak ada yang bersuara. Bu Pertiwi mematung. Tapi kemudian dia beranjak mendekati benda itu. Beberapa saat dia memperhatikan peta itu dari ujung kiri hingga ujung kanan. Bayangannya seolah sedang menyinggahi pulau-pulau, melintasi selat dan lautan. Kemudian ia menyuruh seorang anak untuk mengambil palu kepada pembantu sekolah sekalian meminta paku barunya. Setelah anak itu kembali, peta ditempelkan di tempat semula.
“Lagu yang kalian usulkan bagus semua,” kata Bu Pertiwi, “semuanya sama bagus meskipun berbeda. Jadi, ibu tidak akan mendahulukan siapa pun. Baik lagu yang diusulkan oleh murid yang paling banyak atau yang merasa paling cepat, atau yang merasa daerahnya dekat ibu kota, atau yang merasa suaranya paling merdu, juga bukan lagu dari daerah asal ibu. Tidak!” katanya.
Tatapannya sesekali jatuh di peta kepulauan. “Beradu argumen itu bagus, tapi jangan ada yang merasa paling benar, paling banyak, paling dekat, dan paling bagus. Apalagi menjelekkan dan menjatuhkan yang lain. Kebiasaan seperti itu, akan menghambat persatuan dan kemajuan. Lebih baik kita saling menghargai. Itu yang diajarkan para pendiri bangsa kita,” lanjutnya menatap seluruh muka penghuni kelas. Semuanya tertunduk.
“Kalian tahu, kenapa bangsa kita dijajah hingga ratusan tahun? ”terdiam sebentar, “karena bangsa kita tidak bersatu dan karena itulah mudah diadudombakan. Apakah kalian ingin dijajah kembali?”
“Tidakk...!”
“Bukan berarti ibu melarang mencintai lagu-lagu daerah kalian. Pada saatnya nanti, kita akan belajar semua lagu daerah, tanpa kecuali. Sekolah kita bernama “Bhineka Bangsa’. Berarti kita harus belajar menghargai dan merayakan perbedaan...
Penghuni kelas saling pandang diantara teman sebangkunya, kemudian saling berbisik. Mereka seolah tak percaya apa yang baru saja didengarnya.
“Maaf anak-anak, ibu baru pertama masuk kelas, dan langsung marah. Bukan karena benci, tapi sayang.”
“Jadi, bagaimana, Bu, kapan kita bernyanyi?” tanya salah seorang.
“Ya, sebantar...tapi kalian harus mengikuti aturan mainnya. Ibu sekarang akan membuat peraturannya, "tatapan matanya kembali jatuh di peta kepulauan seolah keduanya telah terjadi percakapan tanpa suara, "supaya adil, ibu akan mengajarkan lagu “Dari Sabang sampai Merauke”. Lagu yang melambangkan kebhinekaan kalian yang berbeda latar belakang dan keinginan, tetapi bersatu-padu di kelas ini. Tapi sebelum itu, barangkali di antara kalian ada yang hafal lagu itu. Kalau ada, silakan acungkan tangan!”
“Saya, Bu,” kata anak yang bermata sipit dan berkaca mata.Semua mata tertuju ke arah suara itu.
“Ya, silakan..., siapa nama kamu? Ibu lupa."
“Steven, Bu.”
“Ya, silakan kamu ke depan!”
“Tapi dia murid baru pindahan, Bu,” kata seorang anak protes.
“Tidak ada tapi-tapian. Baru atau lama sama saja. Tadi juga ibu bilang siapa yang bisa. Bukan baru atau lama,” kata bu Pertiwi tegas.Steven maju ke depan dengan tenang. Kemudian menganggukkan kepala ke arah teman-temannya. Mulailah mulutnya bernyanyi...
“Dari Sabang sampai Merauke/Berjajar pulau-pulau/Sambung menyambung.../Sambung me...nyam...bung...Sam...bung me...nyambung..” Anak itu berhenti. Bait-bait selanjutnya tidak hafal. Mulut Steven itu sekarang tertutup. Tapi lagu itu ada yang meneruskan.
“...Menjadi satu... Itulah Indonesia. Indonesia tanah airku.”
Semua penghuni kelas mencari-cari asal suara itu. Ternyata suara itu berasal dari bangku paling pojok belakang. Suara Barnabas dan Ahmad.
“Kamu berdua hapal lagu ‘Dari Sabang Sampai Merauke?’” tanya Bu Pertiwi sambil berdiri.
“Hafal Bu,” jawab keduanya hampir berbarengan.
“Kalian berdua silakan ke depan. Steven boleh ikut bernyanyi bersama.
”Mulailah Teuku, Barnabas dan Steven bernyanyi dengan semangat.
“Dari Sabang sampai Merauke/Berjajar pulau-pulau/Sambung menyambung/Menjadi satu/Itulah Indonesia/Indonesia tanah airku/Aku berjanji padamu/Menjunjung tanah airku/Tanah airku Indonesia.....
Ciputat, Februri 2008
“Selamat pagi, Bu...,” jawab anak-anak serentak. Mereka langsung duduk dengan rapi. Tatapan mereka terpusat pada sosok yang baru meraka lihat. Sebagian ada yang berbisik dengan teman di sebelahnya.
Sosok itu langsung menuju kursi dan meja guru di pojokan depan. Perawakannya yang mungil membuat gerakannya kelihatan gesit. Kemudian dia meletakkan tas tangannya yang berwarna hitam mengilat di meja itu. Dia sekarang berdiri di depan kelas. Sorot matanya yang tajam, namun berwibawa menyapu seantero ruangan beberapa saat. Tangannya membetulkan letak kacamatanya sebentar.
“Ini betul kelas tiga, ya?” tanya sosok baru itu.
“Iya, Bu...”
Sosok itu mengangguk-angguk. Senyumnya mengembang. Kemudian dia melangkah mendekati papan tulis.
“Baiklah anak-anak, perkenalkan nama saya Pertiwi Kusumah,” kemudian dia menuliskan nama dan alamatnya dengan lengkap di papan tulis. Huruf-hurufnya bersambung dengan indah, “kalian boleh memanggil ibu, Bu Pertiwi atau Bu Tiwi saja. Terserah bagaimana senangnya kalian. Oh ya, ibu adalah guru baru di sini. Sebelumnya, ibu mengajar di Sekolah Dasar, di sebuah daerah terpencil di sebelah timur negeri ini. Lima belas tahun ibu tugas di sana. Sekarang dialihtugaskan ke sekolah Bhineka Bangsa ini. Dan sesuai tugas kepala sekolah, ibu menjadi wali kelas kalian. Ibu senang menjadi wali kelas kalian.”
Bu Pertiwi menambahkan, “Tapi sebelum kita belajar, ibu akan mengabsen dulu nama-nama kalian,” sambil membuka tasnya dan mengambil sebuah buku absensi, kemudian duduk di kursi, “yang namanya disebut, harap mengacungkan tangan supaya ibu mulai kenal kalian. Biasanya, dalam hitungan minggu, ibu akan hafal nama-nama kalian...”
“Ahmad Teuku Syamsudin.”
“Hadir, Bu...”, kata anak yang duduknya di pojok belakang.
“Barnabas Suebu.”
“Hadir, Bu...”, kata anak yang berambut ikal yang duduknya bersebelahan dengan Ahmad.
“Igde Tapa.”
“Hadir...”
“Lisa Hasibuan”
“Ada...”
“Poniyem...”
“Steven Chang....”
“Titim Patimah....”
“Zezen Zainal Abidin...,”
“Hadir..”
Berarti tidak ada yang bolos," kata Bu Pertiwi setelah nama terakhir diabsennya, "ibu senang belajar bersama murid-murid yang rajin. Kalau ingin berhasil, dan cita-cita kalian tercapai, ya harus giat belajar dari sekarang. Oh ya, dari nama kalian, ibu bisa memperkirakan dari daerah mana asal kalian, atau dari mana orang tua kalian berasal. Cocok sekali dengan nama sekolah ini, Bhineka Bangsa. Kebhinekaan itu tepatnya ada di kelas ini. Baru pertama kali ibu mengajar di kelas dengan murid-murid seperti kalian.”
Penghuni kelas terdiam. Mereka belum pernah mendapatkan penerangan seperti itu sebelumnya.
“Tapi ada satu hal yang kurang dari kelas ini. Kebersihannya tidak terjaga! Ibu ingin ruangan ini selalu bersih dan tak berdebu setiap hari supaya kita bisa belajar dengan nyaman dan tenang. Sarang laba-laba di sudut langit-langit itu tidak enak dipandang. Gambar-gambar yang menempel di dinding penuh debu. Coba kalian lihat gambar pahlawan itu,” telunjuk bu Pertiwi mengarah ke gambar-gambar yang berderet di dinding kelas, tatapan murid-murid mengikuti arah telunjuk itu, “lihat pula gambar Presiden dan Wakil Presiden, dan atlas itu, kelihatan kusam! Gambar burung garuda juga terlihat buram. Tidak sehat kita belajar di ruangan seperti ini. Nah, sebaiknya sekarang kita bersihkan dulu ruangan ini. Kalau bisa, lantainya dipel...!”
“Itu tugas anak-anak perempuan, Bu,” kata anak laki-laki serentak.
“Itu tugas anak laki-laki, Bu,” anak-anak perempuan mengelak.
“Bukan! Itu tugas perempuan.”
“Bukan! Itu tugas laki-laki.”
“Stop...! Stop...!” Bu Pertiwi mengangkat tangannya ke muka, “semua murid harus bekerja sama, tanpa kecuali! Anak perempuan dan laki-laki harus bekerja sama. Keduanya harus saling membantu menyingsingkan tangan. Laki-laki harus menghargai perempuan. dan perempuan pun harus seperti itu. Ibu tidak ingin mendengar ucapan-ucapan kalian seperti itu lagi. Paham?"
"Paham...mm."
"Oh ya, hari ini adalah hari perkenalan kita. Jadi, kita tidak belajar sesuai dengan jadwal yang telah ada. Sebagai gantinya, kita bernyanyi bersama...”.
“Hore....!”
“Jangan ribut...!” Bu Pertiwi mengangkat telunjuknya dan ditempelkan di bibirnya. “Ingat...! Bersihkan dulu kelas ini, ya! Ibu akan ke kantor dulu, menemui bapak kepala sekolah. Kelas ini harus bersih saat ibu kembali,” katanya sambil beranjak meninggalkan kelas.
***
“Nah, kalau kelasnya bersih seperti ini, kita bisa belajar dengan nyaman,” kata Bu Pertiwi menatap seisi ruangan yang jauh berbeda dengan sebelumnya, “kalau dikerjakan bersama-sama, semua pekerjaan akan cepat selesai dan lebih gampang. Biasakanlah seperti ini. Sekarang, tugas kitalah untuk menjaganya.”
“Iya, Buuu....”
“Baiklah anak-anak, sesuai janji ibu tadi, sekarang kita akan bernyanyi....”
“Hore....!”
“Kalian sudah siap?”
“Siap....pp!”
“Lagu apa yang pernah kalian pelajari?”
“Cicak-cicak di Dinding,” kata salah seorang.
“Balonku Ada Lima,” kata yang lain.
"Naik-naik ke Puncak Gunung,"
“Nah, sekarang kita belajar lagu lain...”
“Saya ingin belajar lagu “Rasa Sayange", Bu Guru,” kata salah seorang anak yang duduknya di depan.
“Lagu “Ampar-ampar Pisang,” kata seorang anak sambil mengacungkan tangan.
“Lagu “Sinanggar Tulo saja,” kata anak lain sambil berdiri.
“Lagu “Manuk Dadali”! Itu lagu enak, Bu.”
“Saya ingin lagu Ilir-ilir.”
“Potong Bebek...!”
Ibu Pertiwi terdiam melihat tingkah murid-murid barunya.
“Bu, belajar lagu "Manuk Dadali" aja. Itu lagu daerah kami. Di kelas ini, daerah kamilah yang paling banyak muridnya. Yang banyaklah yang harus diutamakan, yang lain menunggu giliran.”
“Enak aja! Tidak bisa begitu. Sayalah yang paling dahulu mengacungkan tangan. Berarti lagu daerah saya dulu yang diajarkan. Siapa cepat dia dapat.”
“Yang diajarkan bukan lagu siapa paling banyak dan siapa paling cepat. Itu salah! Yang benar adalah lagu daerah yang paling dekat dengan ibu kota negara."
"Bukan begitu, tapi suara siapa yang paling merdu. Saya pernah menjadi juara menyanyi mewakili sekolah ini. Jadi, lagu daerah saya yang pantas diajarkan,” kata seorang anak perempuan.
“Tidak bisa begitu. Yang paling berhak diajarkan adalah lagu daerah bu guru. Ternyata saya satu daerah dengan Bu Guru?”
“Tidak bisa seperti itu.”
“Bisa...!”
“Tidak bisa!”
“Bisa...!”
“Tidak bisa!”
Kegaduhan memenuhi kelas itu. Masing-masing ingin lagu daerahnya. Yang merasa paling banyak, berdiri kemudian berteriak hingga tenggorokannnya kelihatan turun-naik. Teman-temannya mengikuti. Yang lain tak mau kalah, mereka berteriak sekuatnya pula. Yang lain ada yang menggulung bukunya, kemudian dia berteriak lewat lubang itu. Yang lain memukul-mukul meja. Sebagian ada yang menutup kupingnya rapat-rapat dengan tas. Sebagian lagi ada yang hanya diam merasa tidak punya keberanian. Sekarang bahkan mereka mulai saling memaki. Bu Pertiwi berdiri hendak menenangkan.
“Brak...” tiba-tiba sebuah benda jatuh dari atas dinding. Peta negara kepulauan itu sekarang berada di lantai. Piguranya retak. Paku berkarat yang menyangganya patah. Semua penghuni kelas diam. Tatapan terpusat ke benda jatuh itu. Untuk beberapa saat, tak ada yang bersuara. Bu Pertiwi mematung. Tapi kemudian dia beranjak mendekati benda itu. Beberapa saat dia memperhatikan peta itu dari ujung kiri hingga ujung kanan. Bayangannya seolah sedang menyinggahi pulau-pulau, melintasi selat dan lautan. Kemudian ia menyuruh seorang anak untuk mengambil palu kepada pembantu sekolah sekalian meminta paku barunya. Setelah anak itu kembali, peta ditempelkan di tempat semula.
“Lagu yang kalian usulkan bagus semua,” kata Bu Pertiwi, “semuanya sama bagus meskipun berbeda. Jadi, ibu tidak akan mendahulukan siapa pun. Baik lagu yang diusulkan oleh murid yang paling banyak atau yang merasa paling cepat, atau yang merasa daerahnya dekat ibu kota, atau yang merasa suaranya paling merdu, juga bukan lagu dari daerah asal ibu. Tidak!” katanya.
Tatapannya sesekali jatuh di peta kepulauan. “Beradu argumen itu bagus, tapi jangan ada yang merasa paling benar, paling banyak, paling dekat, dan paling bagus. Apalagi menjelekkan dan menjatuhkan yang lain. Kebiasaan seperti itu, akan menghambat persatuan dan kemajuan. Lebih baik kita saling menghargai. Itu yang diajarkan para pendiri bangsa kita,” lanjutnya menatap seluruh muka penghuni kelas. Semuanya tertunduk.
“Kalian tahu, kenapa bangsa kita dijajah hingga ratusan tahun? ”terdiam sebentar, “karena bangsa kita tidak bersatu dan karena itulah mudah diadudombakan. Apakah kalian ingin dijajah kembali?”
“Tidakk...!”
“Bukan berarti ibu melarang mencintai lagu-lagu daerah kalian. Pada saatnya nanti, kita akan belajar semua lagu daerah, tanpa kecuali. Sekolah kita bernama “Bhineka Bangsa’. Berarti kita harus belajar menghargai dan merayakan perbedaan...
Penghuni kelas saling pandang diantara teman sebangkunya, kemudian saling berbisik. Mereka seolah tak percaya apa yang baru saja didengarnya.
“Maaf anak-anak, ibu baru pertama masuk kelas, dan langsung marah. Bukan karena benci, tapi sayang.”
“Jadi, bagaimana, Bu, kapan kita bernyanyi?” tanya salah seorang.
“Ya, sebantar...tapi kalian harus mengikuti aturan mainnya. Ibu sekarang akan membuat peraturannya, "tatapan matanya kembali jatuh di peta kepulauan seolah keduanya telah terjadi percakapan tanpa suara, "supaya adil, ibu akan mengajarkan lagu “Dari Sabang sampai Merauke”. Lagu yang melambangkan kebhinekaan kalian yang berbeda latar belakang dan keinginan, tetapi bersatu-padu di kelas ini. Tapi sebelum itu, barangkali di antara kalian ada yang hafal lagu itu. Kalau ada, silakan acungkan tangan!”
“Saya, Bu,” kata anak yang bermata sipit dan berkaca mata.Semua mata tertuju ke arah suara itu.
“Ya, silakan..., siapa nama kamu? Ibu lupa."
“Steven, Bu.”
“Ya, silakan kamu ke depan!”
“Tapi dia murid baru pindahan, Bu,” kata seorang anak protes.
“Tidak ada tapi-tapian. Baru atau lama sama saja. Tadi juga ibu bilang siapa yang bisa. Bukan baru atau lama,” kata bu Pertiwi tegas.Steven maju ke depan dengan tenang. Kemudian menganggukkan kepala ke arah teman-temannya. Mulailah mulutnya bernyanyi...
“Dari Sabang sampai Merauke/Berjajar pulau-pulau/Sambung menyambung.../Sambung me...nyam...bung...Sam...bung me...nyambung..” Anak itu berhenti. Bait-bait selanjutnya tidak hafal. Mulut Steven itu sekarang tertutup. Tapi lagu itu ada yang meneruskan.
“...Menjadi satu... Itulah Indonesia. Indonesia tanah airku.”
Semua penghuni kelas mencari-cari asal suara itu. Ternyata suara itu berasal dari bangku paling pojok belakang. Suara Barnabas dan Ahmad.
“Kamu berdua hapal lagu ‘Dari Sabang Sampai Merauke?’” tanya Bu Pertiwi sambil berdiri.
“Hafal Bu,” jawab keduanya hampir berbarengan.
“Kalian berdua silakan ke depan. Steven boleh ikut bernyanyi bersama.
”Mulailah Teuku, Barnabas dan Steven bernyanyi dengan semangat.
“Dari Sabang sampai Merauke/Berjajar pulau-pulau/Sambung menyambung/Menjadi satu/Itulah Indonesia/Indonesia tanah airku/Aku berjanji padamu/Menjunjung tanah airku/Tanah airku Indonesia.....
Ciputat, Februri 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar